DIAM

Kamis, 31 Desember 2015

Ada beberapa orang yang mudah sekali membicarakan betapa konyolnya kejadian hidup yang dialami, menceritakan secara detile kejadian yang menarik dalam hidupnya atau tersenyum bahkan sambil menangis merasakan pahit getirnya kehidupan.



Namun aku?

Aku bisa apa selain diam dan berbisik pada hati betapa kerasnya hidup yang seakan selalu menjanjikan cerita manis semanis popcorn caramel. Aku bisa apa selain menarik diri lalu kesal sendiri pada hati yang terus membisu, terus menontonku betapa dahsyatnya gemertak gigi ini menahan untuk tetap diam.

Padahal ada beberapa bagian yang terlewati dengan sangat manis sampai melupa bahwa setiap hidup punya berbagai rasa. Sangat perlu mengucapkan, “Terima kasih// Mohon maaf // Akan membalas kebaikan suatu hari nanti.”. Namun entah mengapa sangat sulit mengeja ketika berada dihadapannya, seakan-akan mulut ini butuh waktu sekali lagi untuk bungkam sampai menunggu pada waktu yang tepat dan waktu yang sudah seharusnya.

Begitu sulit namun bukan tidak mampu, hanya saja ada hal yang aku khawatirkan adanya suatu perubahan saling bicara dan saling tatap. Tidak enak atau aku ingin tetap keadaan seperti ini, terlihat baik-baik saja. Atau seakan baik-baik saja?

Aku hanya bisa menggelar sajadah merapal do’a seraya menyebut nama yang diam-diam sudah aku cantumkan pada Tuhan. Mungkin saja Tuhan akan mengiba pada yang lemah. Ditariknya nama-nama tersebut dan diletakan pada masing-masing hati. Hingga mereka paham bahwa kebaikannya tidak sia-sia, kebaikan yang akan selalu berada pada Tuhan.



Karena diam adalah cara para pendo’a mengucapkan terima kasih dan mohon maaf lewat bantuan Tuhan.



Aku Bisa Apa?

Senin, 31 Agustus 2015

Sebenarnya, aku kurang suka berubah jadi diem, jadi alim atau jadi cantik dengan pergi ke salon. Setidaknya untuk,,,, ehm, anu, inner beauty. Setidaknya ingin, ya,, ingin kamu tetap berada disampingku, memandangku, dengan hati yang berkata "Ah! Kamu buat aku sekarat!"
Sebenarnya hanya itu, tapi ternyata, setelah kamu lihat metamorfosisku, ternyata, ah....

Kamu merasa mual, badanmu panas, kepalamu pusing dan sekarang,,, jatuh sakit. Dan bahkan kamu bilang "Alimnya kamu kaya martabak alim, nggak alamiah. Diamnya kamu semacam ngumpul bareng temen2 di puncak, tiba-tiba nyium bau. Udahlah. Sesek sampe idung. Tamatin. Ga usah sok alim dan diem. Aku ga nuntut. Tau nuntut? Itu makanan semacem siput."

Oh, tutut.

Oke, cukup tau! Aku yang nyablak dan malu-maluin bakalan kembali ke langit sampai kamu sehat. Sampai kamu paham betapa inginnya aku terlihat sempurna dimatamu.
Setidaknya, demikian.
Karena demikianlah aku menginginkanmu.





Reinkarnasi Rasa

Senin, 10 Agustus 2015


Semenjak kau tak ada, rasa yang susah dijelaskan terasa jelas sekali, dalam dada. Malam-malam yang terasa begitu demikian indah, kenangannya, suasananya, dan kamunya, seolah-olah sembunyi di tempat yang sama sekali tidak akan pernah kutemukan. Meski keadaan masih sama seperti dulu; masih bisa menulis di tempat yang sama, masih dapat melakukan hal-hal seperti biasanya, masih merasakan suasana pagi, siang dan malam, namun tetap saja rasanya beda, perasaan sesak itu demikian menyakitkan.

 Aku tidak bisa melakukan apapun kecuali diam, menunggu kaset kenangan selesai diputar. Dan setelahnya aku bersusah payah agar air mata tidak jatuh, pada wajah yang semakin tak kukenal rautnya. Pedih, sakit, sesak. Ketiganya aku telan mentah-mentah.

Semenjak kau tak ada, aku mulai berkenalan lagi pada tangisan rindu. Semua begitu pecah pada keheningan dan beberapa bagiannya juga ada yang hancur. Entah pada level yang keberapa aku mulai menyadari bahwa bersahabat pada kesendirian tak begitu menyakitkan. Seperti bertemunya senja pada bulan yang selalu berbincang tentang hal yang sama, menyinari semesta. Meskipun pertemuan itu hanya sebentar namun tak begitu disesalkan, karena mereka percaya akan esok datangnya sebuah pertemuan.



 Aku masih ingat bagian tentang pertemuan indah bersamamu, tentang senyum dan tatapan dalam dekapan rindu yang tiap harinya begitu sempurna. Bagian dimana aku ingin melihatnya berkali-kali, seperti candu akan dirimu. Di sini terasa hangat sekali, pada detak jantung yang memburu setiap melihatmu. Meski yang kita lakukan sederhana, hanya duduk di teras berdua denganmu atau bercerita tentang apa saja yang tak ada habisnya. Dan bahkan hanya memandang wajahmu terutama kedua matamu dengan diam, tanpa bersuara. Demi apapun ini rasanya semakin hangat, pada hati dan pikiran kita yang berteriak menjamu bahagia.  

Namun semuanya hilang setelah kamu memilih dia yang lebih baik dariku. Memang benar, kita harus memilih kehidupan yang lebih baik terutama perihal seseorang yang akan menemani kita selamanya. Sebenarnya aku tidak apa ditinggal meski caramu agak sedikit memberatkan hati. Aku mengerti bahwasanya kita memiliki kepribadian yang berbeda-beda dan mungkin saja caramu melepaskanku begitu sempurna. Caramu yang meninggalkanku secara sembunyi menggenggam erat seseorang yang belum pernah kukenal. Padahal, aku tidak apa jika kamu meminta keluar pada pintu hati yang masih terkunci, padahal aku akan tetap membukanya dan mengucapkan salam perpisahan padamu tanpa kebencian. Namun yang ada, kamu malah mendobrak pintu tersebut sampai rusak. Sampai rasanya tidak mengenakkan sakitnya.

Sebenarnya aku tidak begitu memikirkanmu, hanya saja sisa-sisa kenangan masih melekat pada ruang hati ini sampai menipuku jika aku baik-baik saja. Dengan terpaksa aku masuk pada ruang tersebut untuk membersihkan semuanya atau bisa jadi merusak ruang tersebut sampai hancur agar tidak ada seseorang yang menempatinya. Karena aku tidak ingin seseorang menempati ruangan ‘sampah’ itu. Aku ingin menempati seseorang yang begitu spesial dengan tempat yang spesial pula. Tidak ingin memberinya dengan sisaan. Karena dia bukan kamu, bukan kamu dan memang bukan kamu.

Dia bukan kamu adalah dia yang sekarang bersamaku.

Dia bukan kamu yang membuatku kecanduan, namun dia yang membuatku akan kebutuhan. Dia yang menemuiku dikala kehidupan hampir berakhir padahal sama sekali tidak berakhir. Dia yang menarikku untuk keluar dari lingkaran kesakitan. Dia, pada hal tentangku yang dapat terbaca olehnya. Dia yang diam-diam selalu mendoakanku ketika aku bersamamu. Ya,,, Tuhan yang mengabulkan permintaannya, yang ternyata do’aku disambungkan pada do’anya dalam sepertiga malam. Karena dia yang telah mencintaiku sekian lama dan bersabar menjemputku sampai pada waktu yang tepat.

Semenjak itu aku mulai melupakan rasa pedih, sakit, sesak. Ketiga kata itu tidak pernah kusentuh lagi.

Dulu aku merasa kamu naik tingkat diatasku, lebih hebat dan bahagia daripadaku karena berhasil membuatku kelu. Bisa benar memandangimu dari kejauhan dan menyalahkan diriku sendiri betapa bodohnya aku perihal kebegoan-kebegoanku bercerita pada semesta tentangmu. Menyakiti diri sendiri sampai lupa bahwa kehidupan tidak pernah berakhir meskipun kehilangan seseorang. Semua aku lalui dengan,, yah,, melihatmu bahagia dengannya.

Namun seiring dengan waktu, seiring dengan melangkah ke depan bersamanya, aku tidak lagi memikirkan tentang siapa yang lebih hebat dan bahagia dari kita. Dunia tidak seperti melihat sepotong roti yang dilapisi berbagai rasa, tapi dunia seperti apa aku menikmati sepotong roti pada rasa yang lengket di mulutku, memanggil untuk mendekat pada tenggorokanku seraya berbisik jika nanti aku akan melupa tentang rasa yang buatku sekarat.

Dan sekarang semuanya terbalik, aku tahu bahwasanya kamu diam-diam memperhatikanku. Membuka media sosialku tanpa kuketahui, menyalahkan dirimu sendiri betapa bodohnya kamu meninggalkanku. Kamu yang selalu berharap akan suatu hari nanti dapat bersamaku lagi meskipun kamu tak bisa melakukan apapun karena kesalahanmu bukan hanya padaku saja namun pada keluargaku juga.

Kamu yang masih selalu menyamakan pasanganmu denganku, tentang konyolnya pasanganmu, tentang kebaikannya dan tentang apapun yang ada pada dirinya meskipun setelahnya kamu sadar bahwasanya semua sangat berbeda. Dan meskipun sesudahnya kamu berusaha keras mengikhlaskan takdir yang telah kamu pilih.

Aku bukan terlalu percaya diri bukan pula terlalu gede rasa. Namun aku tahu, kebersamaan kita dulu bukanlah seperti bocah ingusan yang masih merengek pada cinta, lalu setelah berlalu semua akan menghilang tanpa berbekas dan bahkan aku mengenalmu tidak hanya sehari saja yang setelahnya menjadi seorang manusia di dalam semesta tanpa bertemu kembali. Jadi, paham benar perihal kamu atas kebodohanmu.

Aku mengenalmu dan biarlah semua tentangmu menjadi bagian perjalananku saja. Selebihnya, aku tidak peduli. Tidak juga menuntut untuk kau menghilang pada kehidupanku. Dan sekali lagi, aku tidak peduli sekalipun kamu masih berharap cinta akan menyatukan kita kembali.

Karena aku bukan aku yang dulu, melainkan aku dengan dia yang tidak akan kulepaskan dia begitu saja.

Tapi ada hal yang harus kamu tahu, seiring dengan berkelana mencari tujuan yang tepat dengannya, aku mulai memahami bahwa kamu merupakan seseorang yang sangat berjasa untukku. Karena dia bilang, tanpamu, aku dan dia tidak akan pernah bersama dan memahami bagaimana menjaga seseorang agar tidak merasakan kehilangan lagi. Dan dengannya pula aku mulai belajar bagaimana cara memaafkan seseorang dan tidak lagi merajuk pada kehidupan yang sempat aku rasakan pada kursi kesakitan.

Inilah aku,  mereinkarnasi cinta. Pada seseorang yang tidak ingin melewatkan waktu tanpaku. Pada seseorang yang tidak akan melepaskanku begitu saja. Karena ketiga rasa itu, pedih, sakit, sesak- pernah juga dia alami sebelumku. Jadi paham betul hatinya diletakkan dan dimiliki siapa.

Dan sekarang, aku dapat tersenyum dengan bahagia. Sudah memulai satu langkah untuk menuju gerbang bahagia. Disana, gerbang bahagia kehidupan yang baru dengannya sudah dibuka. Tidak akan lagi merasakan yang-entahlah-sedemikian-sakitnya-itu. Meninggalkan kenangan dan juga kamu yang tak akan pernah kubawa pada kehidupanku bersamanya. Aku tidak ingin merusak kesetiannya hanya karena seseorang dimasa lalu yang –mungkin saja- menyesali perbuatannya.

Tapi tenang saja, aku akan mengajakmu merasakan betapa bahagianya aku sekarang. Ajaklah dia yang telah bersamamu untuk merasakan kebahagianku, dan satu hal, jangan kau pergi lagi pada seseorang yang baru dan meninggalkan dia ditengah-tengah kehidupan yang dapat menjadikannya bingung. Meskipun kamu memulai hubungan dengannya diantara kesakitanku, tapi aku tidak pantas menyalahkan kalian atas rasa yang sedemikian sakitnya. Atas kebahagian kalian yang tidak bisa kusalahkan karena kekecewaanku.

Karena ada seseorang yang mengingatkanku tentang arti memaafkan, mengikhlaskan dan bersyukur. Ya,, setelah memaafkan dan mengikhlaskan yang telah berlalu, aku semakin bersyukur memiliki dia sekarang. Ya,, seseorang yang tidak akan kubiarkan pergi.

Karena disana, dengannya, pada seseorang yang tidak akan melepaskan genggamannya padaku. Pada seseorang yang terpatri janji dan mereinkarnasi perasaan hanya denganku.

Cinta – Janji, satu pada tempat yang telah disetujui Tuhan.

Terima kasih, kamu.
Terima kasih, Anda.
Tanpa kalian, aku mungkin tidak pernah bersama dengannya.



   


PRIA

Sabtu, 18 Juli 2015







Pria itu masih berusaha menenangkan hatinya. Berkali-kali ia memijit keningnya, menghentakan kakinya bahkan mondar-mandir tak jelas. Namun tetap saja, hatinya masih berteriak hebat. Menahan sakit, menahan amarah, menahan kecewa dan juga menahan kehidupannya.

Ruangan yang ditempatinya gelap, tidak ada cahaya yang menyeruak dari jendela maupun celah pada dinding . Dia suka kegelapan, membuatnya meraba apa yang dirasakan. Yang dia rasakan adalah yang sering dia pikirkan. Yang dia pikirkan adalah yang sering dia khawatirkan.

Ada banyak sarang laba-laba yang bersarang dalam otaknya. Sengaja tak membersihkannya biar dia tidak perlu memikirkan hal-hal yang tidak terdaftar dihidupnya. Tapi memang sial!  Ada saja nasib yang tidak berpihak padanya, lagi-lagi kehidupan yang dijauhi,  sengaja berlari biar tidak terjebak malah sekarang tercebur.

Kamu tidak perlu tau siapa dia. Sebelum semuanya berantakan, dia merasa hidupnya baik-baik saja. Tidak serunyam ini, tidak sebegitu menjijikan seperti ini. Dia saja sangat muak dengan adegan hidup yang basi seperti ini. Jadi, mari kita sebut pria itu, Dia.

“Ada beberapa dikehidupan ini yang sengaja nggak perlu dipahami. Biar ngga bebanin otak dan bikin hidup sumpek.”

Lagi-lagi adegan klise, Dia menyesap kopinya sedikit demi sedikit setelah mondar-mandir tak jelas untuk menikmati rasa yang ada didalamnya. Ya, rasa yang pernah ada diantara manis dan pahitnya kehidupan. Kehidupan pada dunia yang berlari menjauh dan sengaja mendekat tanpa tau kejelasannya.


Dia menunduk, sengaja agar kepalanya tercebur di cangkir kopi. Padahal dia tau, tidak mungkin kepalanya yang besar muat kedalam cangkir. Paling-paling yang tercelup hanya beberapa helai rambutnya.  Tapi itulah Dia, Dia suka sekali dengan hal-hal mustahil dan akan berusaha apapun supaya jadi mustajab. Bermanfaat untuk banyak orang.

Tapi tidak dengan sekarang ini, hari ini, detik ini dan semua artikel kehidupannya. Karena ini bukan lagi perihal bermanfaat untuk orang banyak, tapi perihal dimanfaatkan oleh orang banyak.

Sebab yang paling Dia rasakan adalah kehilangan. Ya, kehilangan sosok dirinya yang tangguh, kuat dan beku.

Tangguh. Tak peduli berapa banyak kesakitan yang menempanya. Penerimaan tulus ikhlas yang menjadikan Dia tangguh. Begitu kuat dan begitu hebat. Semua Dia terjang tanpa memikirkan rasa sakit, kebencian, dan bahkan kemunafikan. Dia tak mengenal ketiga kata itu.

Kuat. Yang ini lebih dari sekedar tangguh, Dia memiliki kekuatan yang begitu hebat. Seperti baja atau sosok pahlawan yang datang untuk menyelamatkan dunia. Dia selalu ada disaat-saat orang membutuhkan pertolongannya.

Beku. Seperti gunung es. Kokoh berdiri kuat dan dapat merusak apapun yang menyentuhnya. Namun dia lupa, ada matahari yang masih berdiri angkuh diatasnya. Dapat mencairkan yang beku termasuk Dia.

Dia, seorang pria tangguh dan kuat namun beku sementara. Dia, akan meleleh pada kehidupan yang seharusnya mampu dilewati. Karena satu hal ini, dia tak kunjung berdamai dengan hatinya sendiri.

Dia, kalah dalam perasaannya.





Pada Segalamu

Pada segalamu, hidup tak kuhitung seberapa sering terjatuh dan merintih. Penantian bahagia ada segalanya padamu, bahkan hanya kata rindu mampu membuat aku sekarat. Itulah hebatnya kamu.

Memilikimu, sebaris senyuman di pagi hari, meresap pada jiwa dan bahkan diam-diam aku tepikan jatuh cinta hanya padamu saja. Kamu adalah teka-teki yang terpenjara dalam batas logika, setiap berhenti dimatamu, aku ingin lari bersamamu; hanya kamu.

Pusaran titik ini tertulis namamu, meluap tanpa kendali. Hanya bisa menyudahi segala ragu dalam hati, untukmu; untuk kita. Kita satu, tak ada yang dua, sebab kita bertemu dengan penyatuan dan tak ada niat menduakan.

Aku masih setia berdiri pada harapan yang sama. Berteriak. Hanya namamu yang kuingat. Selebihnya aku hilang ingatan. Karena aku ingin, kita berkelana bersama dan menepikan tujuan dengan indah.


Selamanya, denganmu.


BELUM SELESAI

Kamis, 30 April 2015

Belum selesai.

Apa yang selama ini menarikku keluar dari pusaran cinta, memekikan rindu yang semakin tak beraturan. Ajaibnya, kamu ada diantara serpihan cinta setelah hancur dan tak bisa kembali utuh. Ironisnya, kamu terlihat sebelum rindu terpenjara dalam tahanan hati.

Entah nyata atau semu, aku ingin menarikmu berkeliling pada sisi yang masih terkunci, membantu membuka pintu hati sekali lagi, hanya bersamamu. Mungkin saja Tuhan akan mengiba pada tiap-tiap kunci yang berdo’a, mengeja tiap rapalan yang terlalu bungkam, merestui harapan yang berulang kali kita lafalkan.

Bisakah kamu tinggal di taman hati dengan waktu yang lama? Karena itu, bisakah kita tidak mengingat alasan bertemu di sudut hati? Aku sudah bisa mengikis kerak hati yang berkarat, bagian itu karenamu. Karena itu, bisakah kita saling melupa tentang alasan-alasan, seperti alasan aku bertemu denganmu. Karena itu, aku menginginkanmu.

Yang sudah-sudah, yang tak betah lalu kian menyerah, semoga kamu bukan deretan lelaki pasrah. Aku ingin, kamu ingin, rindu pun kian menyergap puing-puing hati. Maka dari itu, bisakah kamu tetap tinggal sebagai pemeran utama? Aku sekarat jika terlalu sering menggantikan peran utama secara berunut.


Karena aku ingin, kamu ingin, menjadi kita yang seiya, searah.



Seiya Searah

Yang ini lebih dari sekedar tentang rindu, rindu sebelum hati menyembunyikan rasa. Aku tau, tidak ada waktu yang salah maupun benar untuk menebus dosa, meyakinkan pilihan dan menemukan bahagia dalam pilihan.

Sekali lagi, ini lebih dari sekedar rindu. Teman sepi yang selalu memutar kenangan begitu hebat. Syairnya sedikit gila, membuat isi kepala berteriak menjamu namamu. Dan bahkan alunannya sukses menarikku memasuki ruang hati.

Bagaimana jika kita berpura-pura mimpi, atau menganggap keadaan ini hanya sandiwara. Memainkan peran sesuka hati tanpa ada peran utama. Kau boleh berperan antagonis, terserah kalau kau ingin menjadi bawang merah yang begitu kejam, atau bisa jadi memilih jadi saudara tiri cinderella. Tapi ingat, aku tidak ingin memainkan tokoh baik yang akan bahagia.

Karena aku bukan tokoh dalam cerita di otakmu. Karena kau lupa, bahwa tulisan ini bercerita tentang 'lebih dari sekedar rindu'. Dan kau, pria.

Lalu?

Biarlah begini sampai kita mulai menyadari untuk melupakan. Melupakan kesedihan, melupakan kesakitan, melupakan kesalahan seseorang di masa lalu.

Biarlah seperti ini sampai kita mulai menyadari untuk tersadar. Sadar bahwa orang-orang baik ditempatkan pada masa lalu agar tidak salah melangkah pada bab hidup selanjutnya. Sadar bahwa Tuhan menemui kita di waktu sekarang, pada hati yang pernah tersakiti sebagaimana sakitnya. Dan juga sadar, bahwa 'lebih dari sekedar rindu' yang kurasakan ini bukan lagi rasa sakit.

Ternyata, lebih dari sekedar rindu ini adalah kesempatan memilikimu dengan perlawanan. Kenapa demikian? Karena demikianlah pikiranku melawan takut. Yaa, Melupakanmu.

Takut tidak seiya, searah berada di ruang 'tunggu'.


battlepujangga

Cute Running Puppy
RISTY PUTRI INDRIANI

Category list

Ads

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Blogger news

Clapping Hands

Twitter

Blogger templates

Clapping Hands
Clapping Hands