Perkara Kita
Sudah ku katakan padamu, tentang perkara cinta yang dapat membunuh
janji dan harapan. Berpuluh kali pulang dalam penantian, tetap saja
Rindu telah aku bakukan. Bahkan jika kau mau, penjara kesepian terasa
menyayat.
Luka yang tak terasa radiusnya, melebur dalam
keheningan. Sebagaimana tentang penyatuan do’a yang sering kita rapalkan
bersama. Bacalah aku dalam sudut mata, meremuk kata-kata bukan dalam
perjanjian. Karena cinta, penghapus air mata kesedihan, bukan memotong
kebahagiaan.
Sekali lagi, ku ingatkan tentang sang
pengembara yang ingin bertemu langit di sudut bumi. Padahal, dunia bukan
sepotong roti yang dapat dilipat dan ditemukan ujungnya. Tetapi dia
menemukan hal lain setelah memperjuangkannya tanpa jeda, karena
penyatuan cinta tak bisa disalahkan.
Dan,, aku tetap
memilih diam. Saat jiwa meretas namamu untuk terpisah. Bukan karena
menyerah, tetapi ada waktu yang menyuruh kita beristirahat, lalu
sama-sama mencari jalan lain hingga bertemu dalam titik penyatuan. Semua
luka bahkan air mata sudah kuhapus dari daftar keegoisan. Jadi, jangan
merasa bersalah.
Bila waktunya tiba, akan ku rubah air
mata menjadi sebuah bingkai senja, yang hanya bisa dinikmati dan
dirasakan oleh kita. Bila waktu tiba, akan kubuat kesepakatan untuk
menjamu kebahagiaan, tanpa ada pilu, tanpa ada yang tertampar, bahkan
tertatih. Semua akan kubuat jatuh cinta untuk memuja kebahagiaan tanpa
usai. Karena mungkin saja, Kepedihan akan mengalah pada orang yang
selalu berjuang melawannya.
Tapi, jika waktu tak kunjung
datang. Perjuangan tidak sampai disini, kita harus berjuang melawan
waktu, meski sendiri bukan berarti tak bahagia. Masih banyak petunjuk
arah untuk kita resapi, bukan pada kebencian. Karena kita masih
sama-sama berjalan menjauh dari masa lalu.
Kau tetap
anugerah terindah—yang pernah menempati ruang hatiku. Boleh aku
membisikan namamu sekali lagi? Meski tak bersama lagi, aku harap kita
tak melupa tentang kisah yang selalu diperdengarkan semesta.
Yogyakarta,
23 Maret 2014.
Di gerbong penantian, kelas 3 216.
Label: syair, tentangCINTA
Biarkan Mata Bicara
Sering aku terdiam melewati kata, membiarkan keadaan yang membaca
bahkan merajut kata pada masa disaat jemari ini tak tergerak. Hanya mata
yang berteriak, hanya mata yang bicara, hanya mata yang mampu
terjemahkan hati agar tak lagi menjadi pemberontak.
Disaat mulut
terlelah pada sembarang waktu, di saat itu lah aku terpenjara pada akal
pikiranku. Menantikan lagu sayup sapa bersimbah luka yang kau namakan
cinta, mungkin saja aku terlalu malas untuk terbangun dari mimpi bodoh
yang ku sebut setia.
Aku berdiri di reruntuhan hidup yang sempat
kau singgahi, menginjak puing luka lalu membiarkan rasa sakitnya
menjalar, sebagai pertanda bahwa aku harus melupa pada lembaran hidup
yang pernah kau tempati dan kau telusuri sejauh mana dinding hati
terhempas dalam sembarang waktu.
Kamu terlalu diam, ruas-ruas tawa
menjadi hilang akal! Terkutuklah aku yang menjadi bisu dalam lembaran
paruh waktu dimana saat jemari ini ingin bertekuk lutut memegang erat
genggaman kuat sapaan rindu meski dalam kalbu.
Mata ini masih
menahan pilu, mengembara jauh menutup jejak air mata. Tataplah aku
sejauh mana kamu menyimpan sayatan kecewa, dalam lembaran hidup selama
kita tempuh dalam pembaringan tepian janji, bahkan pada satu asa yang
akan kau baca lewat mata ini.
Berantai dalam kata-kata yang belum
pernah kau baca dengan jujur, karena perbendaharaan kata akan kau
telusuri lewat mata. Semua yang berdebu akan kau buka dan kau baca
lembar demi lembarnya. Serpihan terjebaknya nostalgia perihal bagaimana
aku menyimpan harapan, luka, kekecewaan, janji dan penyatuan kita.
Di
sini tak akan kau temui tentang penjelasan dalam ucapan, hanya mata
yang mampu bicara. Manik mata warna hitam; di sini yang sempat kau
lewatkan untuk mengetahui sisi paling jujur; di sini yang sempat kau
lupakan tentang perpustakaan janji, kesetiaan, harapan; kelak; nanti
dalam membius putaran waktu.
Oh, tidak. Aku terlupa. Sekarang kita
disini, hanya tinggal pada kenangan; satu-satunya jembatan untuk
mengingatmu. Tak ada lagi edisi kita. Tak ada lagi perihal tentang
cinta. Penyatuan deretan do’a yang sempat kita ucapkan menggantung dalam
sisi Tuhan.
Mungkin kepergian adalah penyatuan hati dalam jalan
yang berbeda. Dan di sini; adalah tentang memaknai kejujuran yang akan
pergi meninggalkan dinding hati. Sudah kau baca semua pada mata ini?
simpan ditempat yang paling sembunyi, agar aku tak mengeja bahagia atau
kesedihan dalam satu rasa; harapan semu itu.
Bekasi, 2014
Di dinding yang masih mengoyakan hatimu meski rumit
Label: syair
Catatan Perjalanan #1
“Penuh kebohongan.”
“Sosialita.”
“Hidup borjuis.”
“Dibawah bayang-bayang keirian.”
***
Agri mengayuh sepedanya dengan kencang, mengalahkan kendaraan
bermesin yang terus membunyikan klakson. Macet. Gambaran kota Jakarta
sekarang, apalagi hujan yang tak henti mengakibatkan jalanan berlubang.
Meski begitu, Agri tetap acuh.Orang-orang metropolitan yang lebih
memilih membuang waktu dan mengeluh daripada mengeluarkan tenaga demi
kesehatan.
Di pagi hari semua orang melangkah keluar rumah dan menikmati
realita dunia untuk bekerja keras. Tapi tidak untuk Agri, pagi hari dia
malah pulang untuk beristirahat. Hidupnya memang seperti itu, lelaki
yang mengganti pagi menjadi malam dan malam menjadi pagi. Tidak lain
karena pekerjaannya sebagai pelayan di salah satu bar Jakarta,
memaksanya untuk merubah pola hidup.
“Tungguin gue, Blek!” Fandi menoyor Agri setelah berusaha mengayuh
sepedanya sejajar dengan Agri. Sontak Agri hampir terhuyung tetapi masih
bisa dia kendalikan.
Entah sebutan 'Blek' untuk Agri datang darimana. Selama Agri masih it's ok, dia rasa tidak perlu dipermasalahkan.
Agri mempelankan kecepatan sepeda, lalu melepaskan earphone sebelah
kanannya. Memang kebiasaan! Seharusnya ketika mengendarai kendaraan
apapun tidak boleh menyumpal telinga. Tapi memang dasar keras kepala,
Agri lebih suka mendengarkan musik the beatles daripada mendengar suara klakson
kendaraan dengan nada yang membosankan ‘tan-tin-tan-tin’.
Beda dengan Agri, Fandi lebih menikmati raungan klakson kendaraan di
pagi hari. Itu terdengar merdu ditelinganya. Telinganya butuh dimanja agar tidak monoton dengan suara musik yang selalu diputar di kantornya—eumm—maksudnya-- Bar.
“Kebiasaan lo, suka meleng cuma liat betis mulus yang naik ojek!” rutuk Agri seraya melirik Fandi yang masih
menyamakan kecepatan sepedanya.
“Liat betis pagi hari beda sama malem hari, Blek! Betis pagi lebih bersinar.” racau Fandi sambil memperlihatkan giginya.
“Makan tuh betis kambing!”
Sebenarnya, jika bukan karena mata yang suka merem sendiri ketika
mengayuh sepeda, Fandi juga tidak perlu menatap betis-betis bening agar
matanya kembali segar. Karena dia sudah terlalu sering melihat gadis-gadis seksi dengan rok mini dan baju bolong dibelakang bahkan bla bla bla yang bisa bikin - ehm, berdiri.
Berdiri untuk kembali kerja.
***
“Jadi gimana, lo mau keluar dari kantor?” tanya Fandi lalu menyesap
teh manis angetnya di kedai Mpok Ijun, tempat dimana mereka sarapan pagi
dengan sepiring nasi uduk dan teh manis.
“Kalo gue keluar, gue harus bertanding sama orang bertopeng semua!” ucap Agri seraya menggelengkan kepalanya.
“Lo kira di kantor kita nggak pada bertopeng.”
“Bar, geblek! Nggak ada kantor yang buka malem hari.”
Fandi cengengesan. “Biar keliatan keren. Terus gimana?”
Agri menghela nafasnya sejenak lalu menyendok nasi uduknya sambil
berpikir. Setelah itu dia melirik Fandi yang merogoh sakunya
mengeluarkan sebungkus rokok. “Menurut lo?”
“Mau kerja dimana pun selama halal, gue rasa nggak masalah,”
jawabnya, lalu menghembuskan asap rokok dan membiarkan asap mengebul
dikepalanya.
“Tiap malem gue nabung dosa mulu. Pusing gue!” kata Agri frustasi.
Fandi terkekeh seraya melirik teman kerja plus teman sekosannya itu. “Dosa ada dimana-mana, Blek. Ngendaliin iman lo aja sih.”
“Emangnya lo bisa?”
Fandi melepaskan topinya, lalu dia kenakan topinya terbalik sambil
berpikir. “Hmm.. nggak juga sih, abisnya tuh betis mulus-mulus banget!”
“Bego.”
***
Suara hentakan music DJ, sorotan lampu bercahaya redup, dan
suara-suara tertawa dalam ruangan itu mulai terdengar. Agri mulai
bekerja, dia terus mencatat hidangan yang dipesan pelanggan meskipun
sesekali Agri digoda sekumpulan wanita. Wajar seperti itu,
karena Agri masuk daftar orang keren pada kriteria wanita-wanita itu. Tubuhnya tinggi dan berbadan atletis karena sering mengayuh sepeda, apalagi wajahnya yang berkharisma, menjadi alasan para wanita untuk menggoda
Agri.
Agri kembali berdiri dekat kasir seraya menatap satu persatu
pengunjung, alih-alih jika ada yang ingin memesan tidak perlu berteriak
memanggilnya. Karena suara mereka akan kalah dengan suara musik yang
mengalun dengan kencang.
“Belum ada pesanan, Blek.” Fandi yang entah datang darimana telah
berada disampingnya, dia juga membawa catatan untuk mencatat pesanan
pelanggan.
“Masih pada happy.”
Fandi menyetujui, malam ini pengunjungnya sangat menikmati musik
dari seorang DJ terkenal. Jadi tak ayal jika mereka sibuk berjoget
sambil tertawa bahagia.
“Lo liat deh cewek yang pake baju merah itu,” Agri menunjuk lewat
kedua matanya pada Fandi. Sepasang mata Fandi langsung mencari.
“Oh yang sama cowok kepala plontos itu. Kenapa emangnya?”
Agri langsung merobek catatannya dan menulis diantara tulisan-tulisan menu hidangan.
-Tuh cewek lagi di nego.-
Fandi yang membaca tulisan itu langsung tertawa terbahak-bahak dan membalas tulisan Agri.
-Lo juga mau nego dia?-
Membaca seperti itu Agri langsung meremas dan merobek kertas menjadi beberapa bagian lalu membuangnya.
“Gue mau lo baca kehidupan orang-orang yang ada disini!” teriak Agri di telinga Fandi.
“Kenapa emangnya?” Fandi balas teriak.
“Gue mau tau, orang-orang sini masih punya sisi baik gak,” jawabnya masih setengah berteriak.
Fandi menyetujui, sepasang mata mereka langsung menyusuri untuk membaca kehidupan orang-orang disini.
Sepasang mata Agri menangkap objek, di ujung sofa warna merah dengan cahaya biru yang menyorot, ada sekolompok wanita berkisar lima orang tengah memamerkan barang-barang. Mulai dari tas, berlian
bahkan gadget yang mereka punya. Semuanya saling beradu mulut dengan
nada-nada angkuh dan sombong. Walaupun suara mereka tertahan dengan
hentakan musik DJ, tetapi Agri masih bisa menangkap dari gaya para
wanita itu.
“Penuh kebohongan,” ujar Agri lalu memalingkan wajah dari sekelompok wanita itu.
Ya,, penuh kebohongan. Barang-barang bagus yang mereka kenakan hanya
untuk memamerkan siapa yang lebih hebat diantara mereka. BOHONG! Bukan
sok tahu, tapi Agri dapat mengerti, mereka susah payah mencari cara
membawa barang-barang tersebut lalu memamerkannya meski dengan cara yang
salah sekalipun. Ya,, demi kepopuleran,, bisa saja mereka pergi ke
rental tas dan dengan mudah gonta-ganti barang. Karena Agri pernah
menonton di salah satu televisi, barang-barang dengan merk terkenal
seperti itu bisa disewa. Demi derajat, disegani dan ingin title "Gue orang paling kaya dari lo-lo semua.".
“Sosialita.” kali ini Fandi yang menangkap sekumpulan wanita berumur
duduk di sofa VIP. Mereka mengeluarkan dolar dari dalam tas yang
bermerk dan meletakannya di atas meja.
Satu pria seumuran Fandi duduk diantara mereka. Wanita-wanita
tersebut juga melepaskan perhiasan ratusan juta dari tubuhnya dan juga
meletakannya diatas meja. Sepertinya mereka tengah melakukan taruhan,
siapa yang menang akan mendapatkan dolar, perhiasan dan juga lelaki itu.
Menarik. Kesenangan yang seharusnya mereka lakukan untuk orang yang
menunggu dirumah, malah mencari kebahagiaan yang akan menghabiskan
separuh hidupnya memupuk penyesalan.
“Gila! Tuh tante-tante nggak sayang harta! Orang yang kaya gini nih, yang tau kalo harta gak dibawa mati. CK!”
“Omongan lo rasis bener!”
“Rasis bukannya anak alay yang suka foto-foto bibir dimanyunin gitu, Blek?”
“Itu narsis, dongo!” Agri menoyor kepala Fandi, yang direspon Fandi cengengesan.
Satu lagi, Agri menangkap seorang pemuda memakai jas hitam tengah
mengangkat kaki seraya merangkul cewek berambut panjang. Air mukanya
terlihat sombong dan angkuh, apalagi ketika dia mengeluarkan beberapa
lembar uang warna merah dan dia berikan begitu saja pada wanita yang ada
disampingnya. Tentu saja, disambut dengan baik dengan wanita itu.
“Hidup borjuis.”
“Yang satunya lagi, dibawah bayang-bayang keirian.”
Agri melirik Fandi, “Mana yang iri?”
“Itu tuh, cewek yang ada disampingnya, yang nggak dirangkul sama tuh
cowok. Tapi dia masih bisa senyum sambil tertawa. Padahal gue tau, tuh
cewek harepin uang juga. Lo liat aja, tuh cowok ngasih uangnya sama
cewek yang dirangkul doang, yang nggak dirangkul malah nggak
dipeduliin.”
“Hidup gitu ya, suka iri-irian sama uang. Tapi sekalinya
dapet lebih, sombongnya ampun dah. Mengatasnamakan kemewahan demi
dilihat orang lebih. Hidup itu kan nggak cuma mengejar kekayaan, tapi
gimana caranya ngejar kebahagiaan dengan cara halal. Biar hidup di dunia selanjutnya nggak serem kaya dicambuk sama disiksa malaikat gitu. Ah ngeri ah!
Udahan ah gue ngeliatin kaya gini ah!”
Fandi melengos menatap Agri yang jadi merem melek dengan ucapannya sendiri. “Kayaknya lebih ngerian liatin elo dah.”
“Eh? Masa- sih?”
“Iya aja dah.” Fandi bertolak pinggang. “
“Kalo mereka milih hidup dengan cara seperti ini, ya nggak nyalahin
mereka juga sih. Soalnya berjuta-juta bahkan milyaran orang di dunia ini
nggak semuanya yang bangkit berdiri karena putus asa. Mungkin aja, gue
mana tau, orang-orang disini sisa dari yang putus asa dengan bangkit
pake cara yang salah. Eh, tapi gue nggak nyalahin mereka deng,” lanjutnya.
“Ya,,, putus asa, sedih dan ngejerit itu emang wajib dirasain. Bukan
buat lemah juga kali, tapi harus berdiri dan kembali kuat!” balas Agri
tak mau kalah.
“Kaya kita ya, Blek. Dua pemuda ganteng yang ngampar di Jakarta jadi
pelayan kantor, demi kuliah dan nyambungin hidup.” Fandi nyengir seraya
menganggkat kedua alisnya.
“Cekek gue, Fan. Kalo lo masih bilang ini kantor!! Ini Bar, dongo!” ucap Agri frustasi.
Fandi yang mendengar teriakan Agri hanya mengangguk polos. “Oh,,
masa sih, Blek. Gue pikir lagi di sekolah TK yang belajar ngebaca
orang-orang sini.”
“Masih pinteran anak TK kali. Doi dibilangin masih ngerti.” sergah Agri cepat.
“Ah nggak juga, Blek. Cewek-cewek anak TK belum numbuh. Masih pake kaos kutang doang.”
Agri menepuk dahinya berkali-kali melihat sok polosnya Fandi yang merasa tak bersalah dengan ucapannya. Seorang cowok yang terkadang
ucapannya benar dan kadang melesat jauh.
"Jadi gimana? ada sisi baiknya, Blek?"
Agri mengangkat bahu, "Sisi baiknya mereka lagi nyari bahagia."
“Mas!!” salah satu dari kelompok wanita yang baru saja duduk di sofa VIP memanggil Agri dan Fandi.
“Lo aja deh.” seru Agri pada Fandi.
Fandi langsung berjalan menghampirnya. Namun, setelah beberapa menit
Fandi melayani sekelompok wanita itu, dia berteriak memanggil Agri.
“Sini cepet!!” teriaknya seraya mengayunkan tangan memanggil Agri.
Dengan terpaksa Agri menghampirinya, “Apaan? Lo susah nyatet pesanan?”
Fandi yang terlihat gugup hanya diam lalu memberikan kode isyarat matanya. Tapi sialnya Agri malah tak bisa menangkap isyarat itu.
Tidak berapa lama, salah satu wanita yang berumur berdiri menghadap Agri dan Fandi. Lalu wanita itu tersenyum manis.
"Cowok ganteng,, mau nemenin tante sampe pagi gak?”
****
“AH,, OGAH GUE!”
Agri dan Fandi mengusap wajahnya gemas. Dengan air muka yang
meringis ketakutan, keduanya langsung mencoret tanda silang pada
lowongan kerja di koran yang ada di hadapannya.
“Nggak deh! Gue nggak ngebayangin kalo kerja di Bar. Iiihh..” ucap
Agri geli jika memang dia benar-benar bekerja di Bar yang tercantum
dalam kolom kerja koran tersebut.
“Tapi keren, Blek. Dari tadi kita ngayal kerja di bar kayaknya seru-seru aja.”
Agri menoyor pala Fandi. “Lo mau digrepe tante-tante? Gue sih ogah!”
Agri langsung berdiri meninggalkan kedai kopi, tempat dimana dia
baru saja menghayal bekerja di Bar. Kerja di sebuah Bar tampaknya belum
terpikirkan Agri. Lebih baik dia memilih kerja sebagai OB atau satpam, setidaknya masih bisa melindungi kesehatan jiwanya.
“Tunggu gue sih, Blek!” Fandi meremas koran tersebut lalu membuangnya.
Kolom kerja yang mencari pelayan bar itu tampaknya belum diminati
dua pemuda ini. Apalagi setelah keduanya saling menghayal jika
benar-benar kerja di Bar itu. Mereka masih belum siap jika
kehidupannya akan berubah. Dari pagi menjadi malam dan malam menjadi
pagi, belum lagi persiapan mental yang akan mengganggu keimanan. Duh,,
mungkin saat ini mereka harus mencari kerja yang dapat membuat iman
bertambah. Contohnya, jadi tukang sapu di masjid, atau jadi imam untuk
istri dan anak-anaknya nanti. Ehm.
“Beli koran yang bener, jangan koran lampu ijo gitu. Jadi merinding gue ngebayangin kalo bener-bener kerja di Bar!”
Sebenarnya, tidak ada persoalan salah dan benar di tempat kerja manapun, yang terpenting niat baik dan kerja keras dengan cara yang halal. Tapi, tampaknya dua pemuda ini belum sanggup, dan bahkan sepertinya tidak pernah sanggup jika setiap hari imannya digoda secara ekstrim.
Kedua pemuda itu terus mengayuh sepeda mencari jati diri yang
sebenarnya. Tanpa ada kebencian, tanpa topeng bahkan tanpa menghalalkan
segala cara. Mereka murni, ingin menghidupi kehidupannya dengan cara
yang baik agar tak terjerumus dalam lembah kepahitan.
Lalu, dimana kah mereka akan berhenti mengayuh sepedanya?
Jakarta,
atas nama pemuda.
Agri dan Fandi.
"Lebay banget lo, Fan. pake atas nama pemuda segala!"
"Yarin! Biar mirip pejuang, Blek!"
"Pejuang cinta yang tersiksa jadi jomblo ngenes, ya, Fan?"
"t*i"
Risty Putri Indriani