Perkara Kita

Selasa, 25 Maret 2014

Sudah ku katakan padamu, tentang perkara cinta yang dapat membunuh janji dan harapan. Berpuluh kali pulang dalam penantian, tetap saja Rindu telah aku bakukan. Bahkan jika kau mau, penjara kesepian terasa menyayat.

Luka yang tak terasa radiusnya, melebur dalam keheningan. Sebagaimana tentang penyatuan do’a yang sering kita rapalkan bersama. Bacalah aku dalam sudut mata, meremuk kata-kata bukan dalam perjanjian. Karena cinta, penghapus air mata kesedihan, bukan  memotong kebahagiaan.

Sekali lagi, ku ingatkan tentang sang pengembara yang ingin bertemu langit di sudut bumi. Padahal, dunia bukan sepotong roti yang dapat dilipat dan ditemukan ujungnya. Tetapi dia menemukan hal lain setelah memperjuangkannya tanpa jeda, karena penyatuan cinta tak bisa disalahkan.

Dan,, aku tetap memilih diam. Saat jiwa meretas namamu untuk terpisah. Bukan karena menyerah, tetapi ada waktu yang menyuruh kita beristirahat, lalu sama-sama mencari jalan lain hingga bertemu dalam titik penyatuan. Semua luka bahkan air mata sudah kuhapus dari daftar keegoisan. Jadi,  jangan merasa bersalah.

Bila waktunya tiba, akan ku rubah air mata menjadi sebuah bingkai senja, yang hanya bisa dinikmati dan dirasakan oleh kita. Bila waktu tiba, akan kubuat kesepakatan untuk menjamu kebahagiaan, tanpa ada pilu, tanpa ada yang tertampar, bahkan tertatih. Semua akan kubuat jatuh cinta untuk memuja kebahagiaan tanpa usai. Karena mungkin saja, Kepedihan akan mengalah pada orang yang selalu berjuang melawannya.

Tapi, jika waktu tak kunjung datang. Perjuangan tidak sampai disini, kita harus berjuang melawan waktu, meski sendiri bukan berarti tak bahagia. Masih banyak petunjuk arah untuk kita resapi, bukan pada kebencian. Karena kita masih sama-sama berjalan menjauh dari masa lalu.

Kau tetap anugerah terindah—yang pernah menempati ruang hatiku. Boleh aku membisikan namamu sekali lagi? Meski tak bersama lagi, aku harap kita tak melupa tentang kisah yang selalu diperdengarkan semesta.



Yogyakarta,
23 Maret 2014.
Di gerbong penantian, kelas 3 216.


Biarkan Mata Bicara

Selasa, 18 Maret 2014

Sering aku terdiam melewati kata, membiarkan keadaan yang membaca bahkan merajut kata pada masa disaat jemari ini tak tergerak. Hanya mata yang berteriak, hanya mata yang bicara, hanya mata yang mampu terjemahkan hati agar tak lagi menjadi pemberontak.

 Disaat mulut terlelah pada sembarang waktu, di saat itu lah aku terpenjara pada akal pikiranku. Menantikan lagu sayup sapa bersimbah luka yang kau namakan cinta, mungkin saja aku terlalu malas untuk terbangun dari mimpi bodoh yang ku sebut setia.

Aku berdiri di reruntuhan hidup yang sempat kau singgahi, menginjak puing luka lalu membiarkan rasa sakitnya menjalar, sebagai pertanda bahwa aku harus melupa pada lembaran hidup yang pernah kau tempati dan kau telusuri sejauh mana dinding hati terhempas dalam sembarang waktu.

Kamu terlalu diam, ruas-ruas tawa menjadi hilang akal! Terkutuklah aku yang menjadi bisu dalam lembaran paruh waktu dimana saat jemari ini ingin bertekuk lutut memegang erat genggaman kuat sapaan rindu meski dalam kalbu.

Mata ini masih menahan pilu, mengembara jauh menutup jejak air mata. Tataplah aku sejauh mana kamu menyimpan sayatan kecewa, dalam lembaran hidup selama kita tempuh dalam pembaringan tepian janji, bahkan pada satu asa yang akan kau baca lewat mata ini.

Berantai dalam kata-kata yang belum pernah kau baca dengan jujur, karena perbendaharaan kata akan kau telusuri lewat mata. Semua yang berdebu akan kau buka dan kau baca lembar demi lembarnya. Serpihan terjebaknya nostalgia perihal bagaimana aku menyimpan harapan, luka, kekecewaan, janji dan penyatuan kita.

Di sini tak akan kau temui tentang penjelasan dalam ucapan, hanya mata yang mampu bicara. Manik mata warna hitam; di sini yang sempat kau lewatkan untuk mengetahui sisi paling jujur; di sini yang sempat kau lupakan tentang perpustakaan janji, kesetiaan, harapan; kelak; nanti dalam membius putaran waktu.
Oh, tidak. Aku terlupa. Sekarang kita disini, hanya tinggal pada kenangan; satu-satunya jembatan untuk mengingatmu. Tak ada lagi edisi kita. Tak ada lagi perihal tentang cinta. Penyatuan deretan do’a yang sempat kita ucapkan menggantung dalam sisi Tuhan.

Mungkin kepergian adalah penyatuan hati dalam jalan yang berbeda. Dan di sini; adalah tentang memaknai kejujuran yang akan pergi meninggalkan dinding hati. Sudah kau baca semua pada mata ini? simpan ditempat yang paling sembunyi, agar aku tak mengeja bahagia atau kesedihan dalam satu rasa; harapan semu itu.


Bekasi, 2014
Di dinding yang masih mengoyakan hatimu meski rumit


Catatan Perjalanan #1

“Penuh kebohongan.”
“Sosialita.”
“Hidup borjuis.”
“Dibawah bayang-bayang keirian.”

***

Agri mengayuh sepedanya dengan kencang, mengalahkan kendaraan bermesin yang terus membunyikan klakson. Macet. Gambaran kota Jakarta sekarang, apalagi hujan yang tak henti mengakibatkan jalanan berlubang. Meski begitu, Agri tetap acuh.Orang-orang metropolitan yang lebih memilih membuang waktu dan mengeluh daripada mengeluarkan tenaga demi kesehatan.

Di pagi hari semua orang melangkah keluar rumah dan menikmati realita dunia untuk bekerja keras. Tapi tidak untuk Agri, pagi hari dia malah pulang untuk beristirahat. Hidupnya memang seperti itu, lelaki yang mengganti pagi menjadi malam dan malam menjadi pagi. Tidak lain karena pekerjaannya sebagai pelayan di salah satu bar Jakarta, memaksanya untuk merubah pola hidup.

“Tungguin gue, Blek!” Fandi menoyor Agri setelah berusaha mengayuh sepedanya sejajar dengan Agri. Sontak Agri hampir terhuyung tetapi masih bisa dia kendalikan.

Entah sebutan 'Blek' untuk Agri datang darimana. Selama Agri masih it's ok, dia rasa tidak perlu dipermasalahkan.

Agri mempelankan kecepatan sepeda, lalu melepaskan earphone sebelah kanannya. Memang kebiasaan! Seharusnya ketika mengendarai kendaraan apapun tidak boleh menyumpal telinga. Tapi memang dasar keras kepala, Agri lebih suka mendengarkan musik the beatles daripada mendengar suara klakson kendaraan dengan nada yang membosankan ‘tan-tin-tan-tin’.

Beda dengan Agri, Fandi lebih menikmati raungan klakson kendaraan di pagi hari. Itu terdengar merdu ditelinganya. Telinganya butuh dimanja agar tidak monoton dengan suara musik yang selalu diputar di kantornya—eumm—maksudnya-- Bar.

“Kebiasaan lo, suka meleng cuma liat betis mulus yang naik ojek!” rutuk Agri seraya melirik Fandi yang masih menyamakan kecepatan sepedanya.

“Liat betis pagi hari beda sama malem hari, Blek! Betis pagi lebih bersinar.” racau Fandi sambil memperlihatkan giginya.

“Makan tuh betis kambing!”

Sebenarnya, jika bukan karena mata yang suka merem sendiri ketika mengayuh sepeda, Fandi juga tidak perlu menatap betis-betis bening agar matanya kembali segar. Karena dia sudah terlalu sering melihat gadis-gadis seksi dengan rok mini dan baju bolong dibelakang bahkan bla bla bla yang bisa bikin - ehm, berdiri.

Berdiri untuk kembali kerja.


***
“Jadi gimana, lo mau keluar dari kantor?” tanya Fandi lalu menyesap teh manis angetnya di kedai Mpok Ijun, tempat dimana mereka sarapan pagi dengan sepiring nasi uduk dan teh manis.

“Kalo gue keluar, gue harus bertanding sama orang bertopeng semua!” ucap Agri seraya menggelengkan kepalanya.

“Lo kira di kantor kita nggak pada bertopeng.”

“Bar, geblek! Nggak ada kantor yang buka malem hari.”

Fandi cengengesan. “Biar keliatan keren. Terus gimana?”

Agri menghela nafasnya sejenak lalu menyendok nasi uduknya sambil berpikir. Setelah itu dia melirik Fandi yang merogoh sakunya mengeluarkan sebungkus rokok. “Menurut lo?”

“Mau kerja dimana pun selama halal, gue rasa nggak masalah,” jawabnya, lalu menghembuskan asap rokok dan membiarkan asap mengebul dikepalanya.

“Tiap malem gue nabung dosa mulu. Pusing gue!” kata Agri frustasi.

Fandi terkekeh seraya melirik teman kerja plus teman sekosannya itu. “Dosa ada dimana-mana, Blek. Ngendaliin iman lo aja sih.”

“Emangnya lo bisa?”

Fandi melepaskan topinya, lalu dia kenakan topinya terbalik sambil berpikir. “Hmm.. nggak juga sih, abisnya tuh betis mulus-mulus banget!”

“Bego.”


***
Suara hentakan music DJ, sorotan lampu bercahaya redup, dan suara-suara tertawa dalam ruangan itu mulai terdengar. Agri mulai bekerja, dia terus mencatat hidangan yang dipesan pelanggan meskipun sesekali Agri digoda sekumpulan wanita. Wajar seperti itu, karena Agri masuk daftar orang keren pada kriteria wanita-wanita itu. Tubuhnya  tinggi dan berbadan atletis karena sering mengayuh sepeda, apalagi wajahnya  yang berkharisma, menjadi alasan para wanita untuk menggoda Agri.

Agri kembali berdiri dekat kasir seraya menatap satu persatu pengunjung, alih-alih jika ada yang ingin memesan tidak perlu berteriak memanggilnya. Karena suara mereka akan kalah dengan suara musik yang mengalun dengan kencang.

“Belum ada pesanan, Blek.” Fandi yang entah datang darimana telah berada disampingnya, dia juga membawa catatan untuk mencatat pesanan pelanggan.

“Masih pada happy.”

Fandi menyetujui, malam ini pengunjungnya sangat menikmati musik dari seorang DJ terkenal. Jadi tak ayal jika mereka sibuk berjoget sambil tertawa bahagia.

“Lo liat deh cewek yang pake baju merah itu,” Agri menunjuk lewat kedua matanya pada Fandi. Sepasang mata Fandi langsung mencari.

“Oh yang sama cowok kepala plontos itu. Kenapa emangnya?”

Agri langsung merobek catatannya dan menulis diantara tulisan-tulisan menu hidangan.

-Tuh cewek lagi di nego.-

Fandi yang membaca tulisan itu langsung tertawa terbahak-bahak dan membalas tulisan Agri.

-Lo juga mau nego dia?-

Membaca seperti itu Agri langsung meremas dan merobek kertas menjadi beberapa bagian lalu membuangnya.

“Gue mau lo baca kehidupan orang-orang yang ada disini!” teriak Agri di telinga Fandi.

“Kenapa emangnya?” Fandi balas teriak.

“Gue mau tau, orang-orang sini masih punya sisi baik gak,” jawabnya masih setengah berteriak.

Fandi menyetujui, sepasang mata mereka langsung menyusuri untuk membaca kehidupan orang-orang disini.

Sepasang mata Agri menangkap objek, di ujung sofa warna merah dengan cahaya biru yang menyorot, ada sekolompok wanita berkisar lima orang tengah memamerkan barang-barang. Mulai dari tas, berlian bahkan gadget yang mereka punya. Semuanya saling beradu mulut dengan nada-nada angkuh dan sombong. Walaupun suara mereka tertahan dengan hentakan musik DJ, tetapi Agri masih bisa menangkap dari gaya para wanita itu.

“Penuh kebohongan,” ujar Agri lalu memalingkan wajah dari sekelompok wanita itu.

Ya,, penuh kebohongan. Barang-barang bagus yang mereka kenakan hanya untuk memamerkan siapa yang lebih hebat diantara mereka. BOHONG! Bukan sok tahu, tapi Agri dapat mengerti, mereka susah payah mencari cara membawa barang-barang tersebut lalu memamerkannya meski dengan cara yang salah sekalipun. Ya,, demi kepopuleran,, bisa saja mereka pergi ke rental tas dan dengan mudah gonta-ganti barang. Karena Agri pernah menonton di salah satu televisi, barang-barang dengan merk terkenal seperti itu bisa disewa. Demi derajat, disegani dan ingin title "Gue orang paling kaya dari lo-lo semua.".

“Sosialita.” kali ini Fandi yang menangkap sekumpulan wanita berumur duduk di sofa VIP. Mereka mengeluarkan dolar dari dalam tas yang bermerk dan meletakannya di atas meja.

Satu pria seumuran Fandi duduk diantara mereka. Wanita-wanita tersebut juga melepaskan perhiasan ratusan juta dari tubuhnya dan juga meletakannya diatas meja. Sepertinya mereka tengah melakukan taruhan, siapa yang menang akan mendapatkan dolar, perhiasan dan juga lelaki itu. Menarik. Kesenangan yang seharusnya mereka lakukan untuk orang yang menunggu dirumah, malah mencari kebahagiaan yang akan menghabiskan separuh hidupnya memupuk penyesalan.

“Gila! Tuh tante-tante nggak sayang harta! Orang yang kaya gini nih, yang tau kalo harta gak dibawa mati. CK!”

“Omongan lo rasis bener!”

“Rasis bukannya anak alay yang suka foto-foto bibir dimanyunin gitu, Blek?”

“Itu narsis, dongo!” Agri menoyor kepala Fandi, yang direspon Fandi cengengesan.

Satu lagi, Agri menangkap seorang pemuda memakai jas hitam tengah mengangkat kaki seraya merangkul cewek berambut panjang. Air mukanya terlihat sombong dan angkuh, apalagi ketika dia mengeluarkan beberapa lembar uang warna merah dan dia berikan begitu saja pada wanita yang ada disampingnya. Tentu saja, disambut dengan baik dengan wanita itu.

“Hidup borjuis.”

“Yang satunya lagi, dibawah bayang-bayang keirian.”

Agri melirik Fandi, “Mana yang iri?”

“Itu tuh, cewek yang ada disampingnya, yang nggak dirangkul sama tuh cowok. Tapi dia masih bisa senyum sambil tertawa. Padahal gue tau, tuh cewek harepin uang juga. Lo liat aja, tuh cowok ngasih uangnya sama cewek yang dirangkul doang, yang nggak dirangkul malah nggak dipeduliin.”

“Hidup gitu ya, suka iri-irian sama uang. Tapi sekalinya dapet lebih, sombongnya ampun dah. Mengatasnamakan kemewahan demi dilihat orang lebih. Hidup itu kan nggak cuma mengejar kekayaan, tapi gimana caranya ngejar kebahagiaan dengan cara halal. Biar hidup di dunia selanjutnya nggak serem kaya dicambuk sama disiksa malaikat gitu. Ah ngeri ah! Udahan ah gue ngeliatin kaya gini ah!”

Fandi melengos menatap Agri yang jadi merem melek dengan ucapannya sendiri. “Kayaknya lebih ngerian liatin elo dah.”

“Eh? Masa- sih?”

“Iya aja dah.” Fandi bertolak pinggang. “

“Kalo mereka milih hidup dengan cara seperti ini, ya nggak nyalahin mereka juga sih. Soalnya berjuta-juta bahkan milyaran orang di dunia ini nggak semuanya yang bangkit berdiri karena putus asa. Mungkin aja, gue mana tau, orang-orang disini sisa dari yang putus asa dengan bangkit pake cara yang salah. Eh, tapi gue nggak nyalahin mereka deng,” lanjutnya.

“Ya,,, putus asa, sedih dan ngejerit itu emang wajib dirasain. Bukan buat lemah juga kali, tapi harus berdiri dan kembali kuat!” balas Agri tak mau kalah.

“Kaya kita ya, Blek. Dua pemuda ganteng yang ngampar di Jakarta jadi pelayan kantor, demi kuliah dan nyambungin hidup.” Fandi nyengir seraya menganggkat kedua alisnya.

“Cekek gue, Fan. Kalo lo masih bilang ini kantor!! Ini Bar, dongo!” ucap Agri frustasi.

Fandi yang mendengar teriakan Agri hanya mengangguk polos. “Oh,, masa sih, Blek. Gue pikir lagi di sekolah TK yang belajar ngebaca orang-orang sini.”

“Masih pinteran anak TK kali. Doi dibilangin masih ngerti.” sergah Agri cepat.

“Ah nggak juga, Blek. Cewek-cewek anak TK belum numbuh. Masih pake kaos kutang doang.”

Agri menepuk dahinya berkali-kali melihat sok polosnya Fandi yang merasa tak bersalah dengan ucapannya. Seorang cowok yang terkadang ucapannya benar dan kadang melesat jauh.

"Jadi gimana? ada sisi baiknya, Blek?"

Agri mengangkat bahu, "Sisi baiknya mereka lagi nyari bahagia."

“Mas!!” salah satu dari kelompok wanita yang baru saja duduk di sofa VIP memanggil Agri dan Fandi.

“Lo aja deh.” seru Agri pada Fandi.

Fandi langsung berjalan menghampirnya. Namun, setelah beberapa menit Fandi melayani sekelompok wanita itu, dia berteriak memanggil Agri.

“Sini cepet!!” teriaknya seraya mengayunkan tangan memanggil Agri.

Dengan terpaksa Agri menghampirinya, “Apaan? Lo susah nyatet pesanan?”

Fandi yang terlihat gugup hanya diam lalu memberikan kode isyarat matanya. Tapi sialnya Agri malah tak bisa menangkap isyarat itu.

Tidak berapa lama, salah satu wanita yang berumur berdiri menghadap Agri dan Fandi. Lalu wanita itu tersenyum manis.

"Cowok ganteng,, mau nemenin tante sampe pagi gak?”


****
“AH,, OGAH GUE!”

Agri dan Fandi mengusap wajahnya gemas. Dengan air muka yang meringis ketakutan, keduanya langsung mencoret tanda silang pada lowongan kerja di koran yang ada di hadapannya.

“Nggak deh! Gue nggak ngebayangin kalo kerja di Bar. Iiihh..” ucap Agri geli jika memang dia benar-benar bekerja di Bar yang tercantum dalam kolom kerja koran tersebut.

“Tapi keren, Blek. Dari tadi kita ngayal kerja di bar kayaknya seru-seru aja.”

Agri menoyor pala Fandi. “Lo mau digrepe tante-tante? Gue sih ogah!”

Agri langsung berdiri meninggalkan kedai kopi, tempat dimana dia baru saja menghayal bekerja di Bar. Kerja di sebuah Bar tampaknya belum terpikirkan Agri. Lebih baik dia memilih kerja sebagai OB atau satpam, setidaknya masih bisa melindungi kesehatan jiwanya.

“Tunggu gue sih, Blek!” Fandi meremas koran tersebut lalu membuangnya.

Kolom kerja yang mencari pelayan bar itu tampaknya belum diminati dua pemuda ini. Apalagi setelah keduanya saling menghayal jika benar-benar kerja di Bar itu. Mereka masih belum siap jika kehidupannya akan berubah. Dari pagi menjadi malam dan malam menjadi pagi, belum lagi persiapan mental yang akan mengganggu keimanan. Duh,, mungkin saat ini mereka harus mencari kerja yang dapat membuat iman bertambah. Contohnya, jadi tukang sapu di masjid, atau jadi imam untuk istri dan anak-anaknya nanti. Ehm.

“Beli koran yang bener, jangan koran lampu ijo gitu. Jadi merinding gue ngebayangin kalo bener-bener kerja di Bar!”

Sebenarnya, tidak ada persoalan salah dan benar di tempat kerja manapun, yang terpenting niat baik dan kerja keras dengan cara yang halal. Tapi, tampaknya dua pemuda ini belum sanggup, dan bahkan sepertinya tidak pernah sanggup jika setiap hari imannya digoda secara ekstrim.

Kedua pemuda itu terus mengayuh sepeda mencari jati diri yang sebenarnya. Tanpa ada kebencian, tanpa topeng bahkan tanpa menghalalkan segala cara. Mereka murni, ingin menghidupi kehidupannya dengan cara yang baik agar tak terjerumus dalam lembah kepahitan.

Lalu, dimana kah mereka akan berhenti mengayuh sepedanya?



Jakarta,
atas nama pemuda.
Agri dan Fandi.



"Lebay banget lo, Fan. pake atas nama pemuda segala!"

"Yarin! Biar mirip pejuang, Blek!"

"Pejuang cinta yang tersiksa jadi jomblo ngenes, ya, Fan?"

"t*i"




Risty Putri Indriani


battlepujangga

Cute Running Puppy
RISTY PUTRI INDRIANI

Category list

Ads

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Blogger news

Clapping Hands

Twitter

Blogger templates

Clapping Hands
Clapping Hands