Tuhan Kita Berbeda 2

Selasa, 19 Februari 2013


Sudah berapa kali kita meratapinya berulang-ulang? suara bising dalam hiruk pikuk stasiun Tebet tak membuat kita menyudahi diam.Bertahan lebih lama, untuk mengetahui siapa dulu yang mewakili ucapan kita. Aku tau, sudah banyak orang yang melihat kita sebagai topik pembahasan mereka yang bosan menunggu kereta kapan datang. Tatapan mata mereka seakan bertanya bahwa kita sedang berkelahi. 

"Kita mau kemana?" ternyata ia lebih dulu bertanya padaku, nampaknya raut wajah mengalah sudah terlihat bersama hembusan nafasnya yang berat.
"Gak tau."
"Yaudah, ke masjid dulu udah adzan maghrib."

Ku lihat jam arlojiku hampir mengarah pada waktu adzan maghrib. Aku mengekornya sembari melihat ujung sepatuku yang sangat cepat melangkah, menyamai langkah kakimu yang semakin tergesa-gesa.


Dua tahun sudah aku hampir tak mengenal perbedaan kita, nampaknya aku akan menggilai bahkan menikmati waktu detik demi detik kebersamaan kita. Kamu, yang selalu mengingatkanku untuk menyuruhku sholat dan menungguku didepan masjid sembari membuka Alkitab mu..

"Mas, gak sholat?" seorang pria menepuk pundaknya.
"Saya non islam mas."
"Maaf."
"Gak apa-apa."

Senyum yang ikhlas selalu nampak diwajahku setelah aku merapihkan kerudungku dan keluar dari masjid sembari melihat kamu duduk dan serius membaca Alkitab mu. Kita berdua memang sangat mentaati agama, selalu membawa apa yang kita butuhkan untuk bertemu dengan Tuhan dimana kita berada. Tapi entah mengapa,untuk urusan perasaan kita hanya bisa termenung dan berharap Tuhan memberikan penjelasan mengapa perasaan ini ada setelah perbedaan itu sangat nyata.

"Aku lapar."

Ia menatapku setelah memasukan Alkitab kedalam tasnya. Aku sangat suka senyumannya dia yang sangat damai dan dewasa. Aku menyukainya, walau kita tak pernah ada kata untuk mengikat sebagai sepasang kekasih yang berpacaran. 

"Kita makan pecel ayam di sana aja ya." 

Aku tau, waktu yang sebentar ini tak akan ku buang percuma. Setelah akhir-akhir ini kita jarang bertemu karena memutuskan untuk hidup sendiri dan belajar untuk melupakan. Pada akhirnya kamu menghubungiku dan berkata bahwa kamu tersiksa.. Ya, akupun juga sama sepertimu. Tak pernah melihat senyum manismu lagi sambil mengeja do'a-do'a kita bersama-sama adalah sesuatu yang sulit kurubah.

Kita memang ditakdirkan seperti ini. Bertemu. Entah bagaimana caranya Tuhan membuat kita semakin memburu kerinduan. Adakah cinta yang lebih sakit selain perbedaan keyakinan? sesakit-sakitnya kita sekarang, aku anggap selesai. Setelah kita bertemu dan berjalan beriringan sambil melangkahkan kaki bersama. Aku selalu berandai-andai, langkah kaki kita akan berada di tempat langkah kaki Tuhan, dimana kita akan bersama-sama hidup sampai aku atau kamu dipanggil Tuhan.

"Gak apa-apakan makan dipinggir jalan gini?"

Aku mengangguk. Bagiku, setiap bersamanya adalah perjalanan yang tak boleh di sia-siakan. Walau berulang-ulang ketika bersama, ia tak pernah menggandeng tanganku atau merangkul pundakku. Ajaran agama mu bukan muhrim--katanya. Ia sangat menghormati agamaku dan akupun akan sangat menghargai agamanya.

"Kamu makannya jangan lelet. Ntar kemaleman."
"Itukan udah kebiasaan aku. lama."
"Kamu ngeyel aku bilangin."

Aku terkekeh kearahnya, ingin sekali aku mengacak-acak rambut poninya sambil mencubit badannya yang kurus. Aku menginginkan suasana seperti ini, berdua dimanapun tempatnya dan selalu menikmati perhatiannya. 

"Abis kamu makan, ada yang pengen aku omongin." 

Aku menatapnya lirih, perasaan gusar tiba-tiba timbul dalam hatiku. Aku sangat yakin, ia akan menanyakan bagaimana kita selanjutnya? atau ia sudah menemukan solusi yang berat untuk jawaban dari kita selanjutnya. Bagaimanapun, bagian topik pembicaraan yang gak ngenakin adalah pembicaraan tentang kita. Aku tak ingin membahasnya untuk sekarang ini, aku tak ingin menambah prakteknya kita seperti kemarin untuk hidup sendiri-sendiri. AH! aku jadi tak berselera makan. Tapi dengan ucapannya tersebut aku rela memasukan banyak nasi dan pecel ayam di mulutku, agar cepat selesai.

"Udah selesai."

Iapun merapihkan piringnya dan menyeruput es jeruknya sambil menatap kedua manik mataku yang sempat kuhalangi dengan menundukan kepala.

"Kamu taukan, bagaimana dosanya kita dalam agama kalau kita maksain takdir buat nyatuin kita terus 
dalam keadaan kaya gini?"

Akupun mengangguk dalam kalimat permulaannya. Sebagian hati kecilku hampir berteriak dan menangis. mengapa aku tak pernah tega melihat keadaan kita yang semakin sulit ku hindari.

"Aku lebih milih diam. Aku lebih memilih berdebat dengan sang penguasa waktu. Aku berusaha sekeras mungkin, tapi tetap kita memang gak bisa disatuin. Orang tuamu adalah haji,mereka seorang panutan dan pengurus masjid. Sedangkan aku, diasuh oleh seorang pastur. Bagaimana kebodohan kita terjadi seperti ini, aku hanya berusaha berdamai. Tapi...."

Ia mengusap wajahnya sambil memejamkan kedua matanya. Aku hanya bisa diam dan ingin menangis lalu menyalahkan letak kesalahan kita yang tak bisa terbaca oleh siapapun. Semua orang hanya bisa berkata "lupain" tapi bagiku, untukku ini adalah bagian tersulit dalam melupakan seseorang. 

"Kamu seorang wanita, sangat lembut hatinya.. Aku gak ingin kamu ngerasain sakit kaya gini."

Yaa, ini adalah hadiah Tuhan yang diberikan kepada aku dan kamu. Ini adalah ujian tingkat kehidupan kita. Bagaimanapun keadaan kita,ucapan syukurlah yang harus tertanam dari diri kita. Kini aku menyadari, bagaimana seseorang yang disebut cinta sejati adalah seseorang yang terus memperjuangkan haknya tanpa ampun. Dan apakah ia adalah cinta sejatiku? cinta sejati yang sangat jelas pemisahnya.

"Aku akan berusaha sabar.. Aku akan berusaha ikhlas kalau emang ini jalan kita untuk.. berpisah."

Ucapanku kali ini untuk menyadarkan dia, bahwa aku tetap menjadi aku seperti dulu. Tak pernah terpuruk dan akan selalu mempercayai keajaiban Tuhan. Aku ingin ia tak bersusah payah memikirkan hidupku jika ia ingin mengucapkan sesuatu yang akan menyakiti hatiku..

"Kamu gak usah ngomong apa-apa. Biar takdir dan usaha kita yang bekerja."

Aku langsung bergegas berjalan menuju stasiun Tebet kembali, kali ini ia mengekorku dan mengikuti iringan langkahku. Sekarang, iringan langkah semakin berat dan tak ingin meninggalkannya sedetikpun. Aku tak ingin suasana berubah kembali seperti kemarin, seperti kita yang sepertinya tak pernah kenal. Aku ingin sekali berteriak dan memintamu untuk selalu bersamaku. Tapi ah... aku tak ingin memaksakan kehendakmu, biarkan ini jadi kehendakNya biarlah ini jadi upacara perjalanan hidup kita. Karena sesuatu yang dipaksakan akan bertanda hal-hal yang menyakitkan. Dan aku.. tak ingin menyakitimu walau kita sudah sama-sama merasakan kesakitan..

Peron pada stasiun Tebet, tak terlalu ramai seperti waktu sore tadi. Sudah jam delapan, itu tandanya semua orang yang pulang bekerja telah singgah dalam rumahnya masing-masing. Dan aku yang harus naik kereta menuju Depok, masih ingin berlama-lama disini dan lupa rasanya berada dalam rumah.

"Naik cepat, nanti kamu ketinggalan."

Aku mengangguk menatap wajahnya yang berada disampingku. sekarang, nampak sekali wajah raut yang gelisah bersama dengan air mata  yang menggenang dalam matanya yang bulat. Aku tau perasaannya kali ini sangat susah untuk meninggalkanku. Sama seperti aku yang pandai menyembunyikan kesedihan dalam senyumanku.

"Aku sayang kamu."
"Aku juga sayang kamu."

Aku berdiri di pintu kereta yang hampir tertutup. Ia melambaikan tangannya sambil tersenyum padaku. Pertemuan terakhir untuk malam ini, sangat indah hadiahnya.. Aku ingin bertemu dia kembali, bertemu dalam keabadian, bukan perasaan yang seperti ini.. Kereta telah melaju, dan aku tak bisa menatapnya lagi. Malam ini benar-benar membuat perasaanku tak karuan lagi. 

Jika yang tak ku ketahui adalah sesuatu yang harus kujalankan, maka tunjukanlah ketidaktauanku dalam perasaan yang berbeda dan dalam cara memperlakukan yang berbeda pula. Aku tak ingin menyalahkan perasaanku dan bahkan aku tak ingin membenci cara perkenalan ku dengannya. Biarlah Tuhan yang menyetujuinya, karena dialah yang mempertemukan kita. 

Aku berharap, kita baik-baik saja sebelum rasa ini hilang atau masih bertahan dalam wujud yang semakin sesak. Dua tahun lamanya, bukan seperti bocah ingusan yang selalu tertawa sambil bertanya "Tuhan Dimana?" 

"Kita sudah sama-sama dewasa, kita sudah sama-sama tau letak Tuhan kita dimana. Jadi, jangan susah untuk mencari kebenaran kita, karena kita disini masih percaya Tuhan tak tinggal diam dan tak pernah melempar dadu. Aku akan terus berdo'a dalam genggaman salibku dan kamu harus selalu berdo'a dalam sujud sajadahmu." Katanya dia demikian, sebelum kita mengenal arti sebuah pengorbanan





Jakarta, 
Pada waktu kita mengingat segalanya terjadi.


battlepujangga

Cute Running Puppy
RISTY PUTRI INDRIANI

Category list

Ads

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Blogger news

Clapping Hands

Twitter

Blogger templates

Clapping Hands
Clapping Hands