Catatan Anak Buangan
Senin, 23 Juni 2014
Diposting oleh
Risty putri indriani
Seharusnya bagian prolog ini nggak membunuh gue. Seharusnya ada rangkaian
kata yang lebih hebat daripada prolog yang menyebalkan seperti ini:
“Terdengar suara burung, teriakannya seperti meremehkan diri gue yang
telah terbiasa dengan keadaan pecundang. Bahkan, sampai suara angin yang
sanggup menggugurkan daun, seakan mewakilkan diri gue yang semakin lama
menggugurkan kekuatan.”
Itu prolog kampungan, bisa-bisanya ngeremehin gue. Gue yakin, mereka
nggak suka sama kedatangan gue dalam kehidupan ini, karena memenuhi kuota
manusia yang masuk ke dalam daftar buangan.
Karena awalnya, gue emang buangan, deretan pecundang yang layak
dijadikan predikat nol. Nol dalam pernyataan, “Lo cuma penuhin sampah di bumi
ini.”
Boleh gue kesal sendiri dengan kata-kata jagoan? Seperti brengs*k, F*ck,
Atau bisa jadi still a little b*tch! Karena
semakin lama, gue sadar, apalah arti kehidupan yang terbentang dengan megah
jika dindingnya banyak duri yang siap menusuk gue ketika gue melangkah. Padahal
gue udah mohon-mohon pake nunduk ke benda-benda beracun itu, agar menyudahi
semua kesakitan. Tapi, ahh,, lagi-lagi semua berakhir sia-sia. Gila,, disangka
gue besi baja kali ya, yang mampu dan sanggup berdiri kuat ketika dihujam
berkali-kali.
Semua ini tentang kehidupan, kerap kali keluar-masuk lingkaran yang bias
untuk merasakan perasaan yang beragam. Terbiasa menahan sakit, terbiasa
menertawakan diri sendiri, terbiasa bahagia diantara kekalahan, terbiasa
berharap untuk menyudahi keadaan dalam ketiadaan, terbiasa sendirian untuk
mematahkan putus asa, terbiasa (menghayal) hidup mewah diantara dua lembar uang
dua puluh ribu rupiah dan juga,, terbiasa,, ditinggalkan seseorang disaat hati
mulai ingin membuka lembaran baru.
Perkara hati merupakan perkara jatuh cinta. Perihal cinta yang membuat
gue bodoh, bisa-bisanya gue masih menetap dalam ketidaktetapan, namun mampu membuat
gue berusaha untuk menjadikan sebuah ketepatan yang tepat untuk menempati ruang
tersebut. Gue nggak menyalahkan takdir yang terkadang sering bercanda dengan
lelucon-lelucon keadaan. Mencoba membunuh gue secara perlahan karena gue nggak
layak ditempatkan dalam kehidupan ini.
Kata-kata kebodohan, kesal sendiri dengan ucapan-ucapan yang nggak pantas
terlontar—itu diperuntukan untuk diri gue sendiri. Gue nggak menyalahkan semua
orang yang seenaknya keluar masuk dalam kehidupan gue, walau hanya beristirahat
sejenak lalu meninggalkan ampas yang efeknya bisa buat gue sekarat. Sesakit
apapun dalam kehidupan gue, setidaknya gue berterima kasih pada mereka karena
telah mengajarkan gue bagaimana cara bertahan ketika reruntuhan hidup terasa
nyata.
Tapi disini, gue nggak mau bahas tentang masa lalu yang kerap kali
membuat gue ketawa sendiri dengan kebodohan-kebodohan yang lugas, meskipun
sampai saat ini gue masih merasa tersiksa dengan kehidupan gue sendiri.
Disini, gue mau bahas tentang elo. Anak baru yang belum bisa ngebaca
taktik jitu untuk meruntuhkan dinding tak kasat mata. Mencoba berlagak hebat,
layaknya jagoan yang nggak pernah merasa kalah tanpa ampun. Lo keren, lo super dan
lo merasa yakin dengan semua cara yang menurut lo paling ampuh untuk
meruntuhkan semua tembok yang menghalangi jalan lo dikehidupan gue. tapi, lo
lupa, hanya gue yang sanggup memegang peranan utama dalam kehidupan yang nyata.
Lo masih belum bisa ngebaca, bagaimana cara gue sanggup bertahan ketika
gue jatuh tersungkur dengan kesakitan yang telah diperbuat oleh masa lalu gue. Cewek
semacam elo, nggak bisa berbuat apapun, selain jadi patung manekin yang
dipajang berjejer di etalase.
Gue butuh orang yang sanggup mengeluarkan gue dari lubang kesakitan untuk
menuntun gue menuju rumah baru. Bukan ngeliatin gue dari
atas sana hanya untuk berteriak menanyakan keadaan gue tanpa berusaha untuk
menolong gue. Gue butuh orang yang sanggup bertahan dengan keadaan sampai gue
bebas. Jangan terus tanya bagaimana caranya, tapi terus bekerja agar tahu
caranya.
Dan untuk hal itu, lo belum sanggup. Lo belum bisa menerima kenyataan
pahit kalau gue masih berada dideretan orang-orang yang nggak layak untuk hidup.
Padahal, jika lo terus bertahan dengan keinginan lo bersama gue, akan ada waktu
yang tepat menyadarkan gue atas
perjuangan elo yang terus berusaha narik gue untuk menjauh dari
kesakitan-kesakitan itu. Bukan begini caranya, meninggalkan gue ketika gue
pesimis dengan kehadiran lo.
Mungkin, untuk saat ini, lo nggak nampak dikehidupan gue. Tapi gue yakin
dengan suatu hari nanti, dimana ketika perjalan gue sudah tidak ada dinding
benda beracun itu, satu-satunya orang yang akan gue temui cuma elo. Karena
sampai saat ini, nggak ada satupun dalam kehidupan gue yang berani hadir
menampakan dirinya dihadapan gue. Mereka cuma ngintip lalu pergi gitu aja
setelah tahu kalau gue masih menjabat predikat pecundang.
Memaksakan itu bukan perkara hebat. Dan gue nggak pernah memaksakan lo
untuk terus sanggup dan berdiri kuat disaat gue terlelah dalam sembarang waktu.
Bahkan disaat elo mulai merasakan sakit hati.
Tentang sakit hati bukan persoalan dia yang telah mengecewakan, dia yang
gelap mata dengan kehadiran kita yang terus setia, bukan juga tentang dia yang
bodoh tidak merasakan kehadiran kita yang benar-benar menyayanginya. Tapi ini
tentang diri sendiri, bercermin atas kesalahan sendiri. Mengapa orang yang
disayangi memilih pergi. Ini yang perlu dikoreksi dalam kehidupan kita sendiri.
Apakah selama ini cara kita belum benar untuk mengaplikasikan semua kebaikan
untuk dia.
Yaa,, ini berlaku juga untuk gue ke elo, ketika lo merasa kecewa dan
memilih pergi karena nggak sanggup berusaha mengeluarkan gue dari lubang masalah.
Gue sadar, kalau sikap gue yang salah. Namun, gue nggak bisa berbuat apapun selain
menatap kepergian lo yang semakin lama semakin menjauh. Karena sekarang ini,
gue pun masih belum tahu bagaimana caranya berusaha keluar mengejar lo untuk menemani gue sekali lagi.
Sekarang lo udah mengerti, kehidupan orang yang ada disekeliling lo
merupakan pembelajaran bagaimana menjadi seorang wanita yang tangguh.
Selamat memilih dan selamat pergi.
Jakarta, 23 Juni 2014.
Gue, Arga.
Label: harian, history, tentangCINTA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar