K A M U
Jumat, 20 September 2013
Diposting oleh
Risty putri indriani
Mungkin,
aku memang bukan yang terbaik untukmu—bukan sama sekali. Tetapi aku bersikeras
untuk mampu mempertahankanmu dalam mengoyakan masa depan kita. Menjiwai tanpa batas naluri keingkaran yang
kita miliki. Menempuh ruang yang tak bisa kita goreskan sama sekali.
Aku percaya, akan ada suatu hari
nanti. Dimana kita menembus ruang tersebut dan membiarkan kita menempatinya.
Aku percaya bahwa semuanya tak akan menjadi sia-sia belaka. Membiarkan dinding
kosong dan rapuh tak terurus.
Aku mengamati bagian-bagian kata dari
Ghie yang dikirim lewat message.
Semua yang dia untai membuatku semakin memburu keindahannya. Bagaimana bisa
rasa itu hadir dalam batas kata-kata tanpa pernah bertemu dengannya?
“Namanya juga cinta, mau gimanapun
elo ngelupainnya. Lo bakalan inget dia terus!” Kana langsung membuyarkan
pengamatanku pada message Ghie.
“Siapa juga yang mau ngelupain dia.
Gue lagi berbunga-bunga liat smsnya dia.” Ku sodorkan ponselku dihadapannya,
agar Kana percaya bahwa aku tidak ingin melupakan Ghie.
Memang
tidak! Siapa yang ingin melupakan seseorang yang begitu romantis dan memberikan
derasan kepercayaan bahwa jarak bukan alasan untuk tidak menjadi sepasang kita.
Semua akan selalu terkenang menjadi impian dalam harapan. Ghie satu-satunya orang
yang membuatku berada di garis start dan
melaju bersama-sama pada garis finish.
“Lo
belum pernah ketemu dia tapi lo bisa jatuh cinta ya sama dia? Aneh.” Ucapnya
sembari menyeruput cokelat panas yang telah dia pesan sepuluh menit yang lalu.
Tahu apa mereka tentang
kita?
Sore
yang tampak begitu memikat, meredamkan cahaya menyengat menjadi bersahaja.
Sudut-sudut jendela kafe telah dipenuhi oleh sepasang muda-mudi menikmati suasana
sambil bersantai-santai. Beberapa diantaranya terlihat begitu bahagia menatap
pasangannya seraya menyeruput secangkir cokelat panas yang meleleh di mulutnya.
Aku
akui, aku menginginkan moment seperti
itu. Bersama Ghie menghabiskan waktu lalu bercengkrama dengan hangatnya senja
dan membiarkan aku terlupa dengan letihnya kehidupan. Aku
menginginkannya—setidaknya sampai pada suatu hari nanti.
“Lo
pengen kaya dia ya?” Kana menebak pikiranku lewat tatapanku yang tak henti-hentinya
menatap sepasang kekasih berada diseberang mejaku.
“Naluri
anak muda Na.” Jawabku sambil terkekeh
Kana
menggelengkan kepala, dalam pikiran Kana banyak ucapan yang tak dia lontarkan
untuk menyadarkanku bahwa Ghie adalah ‘teman pena’ yang tak tahu apakah dia
benar-benar baik atau hanya keisengan belaka. Dan semua itu sudah kuterka apa
yang berada di pikiran Kana, dia menginginkan aku mencintai seseorang yang wajar
dan berada dalam kota yang sama.
“Lo
kaya nggak ada cowo lain aja.” Kana menopang kepala dengan tangannya, menatapku
dengan penuh harapan untuk menyadarkanku dari semuanya.
“Yang
lain emang banyak Na, kalo cinta? Cinta kan ngga tertebar dimana-mana. Yang
ngasihkan Tuhan Na, gue gak minta. Gue mah bersyukur aja dan jalanin sama dia.
Gue yakin! Gue—”
“Udah
udah! Iya gue ngerti. Tapi kalo sampe tuh cowok menghilang tanpa jejak.
Ngeblock sosmed, ganti nomer terus pindah rumah jangan nangis loh!” ancamnya.
Aku
hanya bergidik sambil tersenyum lepas padanya. Yah, namanya juga jatuh cinta.
Semua orang yang berusaha untuk menjadi penyelamat tiap sepasang kekasih yang
memutuskan untuk berkomitmen adalah mereka yang tak pernah mengerti bagian
dengan cara lain yang disebut dengan indah dalam semu.
Kebisuan Kata
Ku
ketuk ponsel pada dahiku, ku eratkan jemariku memeluk ponsel yang tak berbunyi
sama sekali. Hampir seharian—aku terlalu malu untuk memulai sesuatu yang
semestinya aku yang memulai. Aku terlalu pengecut untuk bertanya Lagi apa Ghie? / Kok ngga ada kabar sih? Atau
sekedar menyapa namanya saja.
Dengan
perasaan cemas, aku membuka twitter
dan mencari user-nya. Kulihat timeline-nya sama sekali tidak ada tweet dia hari ini. Dia benar-benar
menghilang seperti tertelan bumi. Membiarkanku harus berdamai dengan hati
berkali-kali. Aku terus berpikir positif, mungkin dia sedang tidak ada pulsa
atau mungkin tengah sibuk mengurusi kegiatan kampusnya.
Ketika
ku terjaga dalam kesunyianku, ponselku berbunyi. Cepat-cepat kubuka dan
ternyata dari Ghie. Wajah sumringahku terpancar beserta tulisan loading yang membuka smsnya. Tetapi
ternyata sedikit demi sedikit aku membacanya, rasa tertusuk itu menyergap
kekhawatiranku yang telah menjadi bisu.
Maaf untuk kesekian
kalinya, semua perjalanan ini telah ditakdirkan untuk kita. Aku hanya berharap
kita terus berdo’a tanpa mengharapkan lagi apa yang belum pasti. Maaf sekali lagi,
berikan manfaat waktumu dipergunakan sebaik mungkin, bukan menggenggam ponsel
dan merayu dalam sms. Semangat buat masa depanmu!
Aku
ingin marah! Aku ingin berteriak! Aku ingin memaki diri kita! Mengapa seperti
ini? Mengapa tidak kita bicarakan bagaimana kita mempertahankan ini semua? Mana
janji kita? Mana kepercayaan kita akan suatu hari nanti? Dimana letak salahnya
kita!
Air
mataku telah membasahi wajahku dengan derasnya, mengapa aku terlalu bodoh untuk
terlalu percaya hanya pada kata-kata yang diuntai. Ternyata memang benar apa
yang dilihat oleh Kana, mereka yang memberikan pencerahan menggunakan cara
berpikir adalah mereka yang memutar otak dengan logika bukan terlena pada
perasaan seperti aku yang tengah mengalaminya.
Kamu kenapa bilang
kayak gitu, aku masih sayang sama kamu—Aku mencoba untuk
memperbaiki semuannya dan mengirimkan sms untuk menjawab semua kalimat Ghie.
Kamu itu orang yang
setia. Sayang kalo kesetiaan kamu dipergunakan untuk orang yang nggak pernah
ketemu kamu—balasnya.
Ku
hembuskan nafasku perlahan untuk memberikan ketenangan dalam hati. Hatiku
terasa sakit meskipun aku tak pernah bertemu dengannya lalu melihat seperti apa
dan bagaimana. Perkenalan dengannya yang hanya terpaut sebulan, membuat separuh
hatiku benar-benar berada bersamanya.
Aku
berusaha tegar dan menerimanya, memang yang tak bisa tersentuh dan tak bisa
digenggam dengan erat akan terlepas dengan mudah lalu menghilang tanpa jejak.
Dan sekarang aku memilih menghapus nomor ponselnya lalu mengganti nomor
ponselku bahkan memblock sosmed agar dapat melupakannya sehingga terbiasa tanpa
ada rajutan kata-kata lagi.
Kenangan Itu..
Masih
ingatkah kamu tentang janji yang mempersatukan kita? Tentang kenangan gerbang
yang indah di pelupuk mata? Aku masih menguncinya dengan rapat lalu membiarkan
hatiku menempati yang terindah hingga
detik ini.
Semua
perkenalan ini, semua perjanjian ini hanya mampu menembus rasa
keegoisanku. Membiarkan aku menunggumu
dalam ingatan bahkan membiarkanku membunuh kebahagiaan.
“Apa
gue bilang! Lo sih ngeyel gue kasih tau dari dulu.”
Aku
bertekuk lutut melemaskan semua beban yang hinggap dalam tubuhku, andai saja
aku berpikir logika seperti mereka yang masih mencoba untuk memikirkan masa
depan, mungkin aku tak akan terlena pada bualan janji-janji Ghie.
“Namanya
juga cinta Na.”
“Hah!
Cinta? Itu yang dimaksud cinta? Nggak pernah ketemu lo bilang cinta? Sumpah! Lo
orang aneh yang pernah gue temuin.” Kana mengaduk-aduk cokelat panas untuk yang
kesekian kalinya.
Kafe
cokelat yang menjadi teman sepi bahkan kebahagiaanku menjadi saksi bagaimana
aku dapat merasakan hal tak mengenakan yang selalu ku tepis dalam pikiranku, bagian
ku anggap baik adalah bagian mengkhianati, sepertinya aku yang menghianati
karena terlalu percaya dengan seseorang yang tak pernah ku temui sama sekali.
“Sekarang
lo udah ngertikan? Gimana rasanya kalo cinta itu belum pernah lu temuin sama
sekali. Sebenarnya lo itu bukan ngerasain cinta, tapi ngerasain terhanyut pada
puitisnya. Coba lo bayangin, kalo seandainya dia bapak-bapak yang nyamar jadi
anak muda dan dia ngambil keputusan kaya gini karena ketahuan anak istri, lo
bisa apa?”
Aku
tak berkutik mendengar ucapannya, bisa jadi seperti itu. Mengapa aku tak sejauh
itu berpikir? Mengapa aku terhanyut pada kata-kata? Ah! Sepertinya memang aku
tak pantas berlarut-larut dalam kesenduan bahkan kesendirian. Tapi aku tak
munafik! Aku masih mencintainya. Entah rasa cinta yang seperti apa, aku merasa
kehilangan.
Sejauh apapun kamu
menempatiku pada posisi yang terlewat sedikitpun, aku mencoba untuk tetap bertahan.
Membiarkanmu menyadari arti hadirku sesungguhnya. Tanpa bisa membunuh harapan
pada semesta.
Biarlah kamu membuatku
berlumur pada kesakitan. Karena sesungguhnya cinta adalah yang benar-benar
memahami bagaimana merasakan sakit yang tak kunjung lenyap. Bukan membuat
bahagia menjadi sepi, membuat ketenangan menjadi gundah.
“Dan biarkan
cinta memihak padamu yang sesungguhnya mengisyaratkan kebaikan hati. Karena
sesungguhnya cinta takkan terletak dihati yang salah.”
Aku
mendengar suara seseorang dibalik punggungku mengucapkan untaian kalimat yang
sangat kukenali. Perlahan-lahan kubalikkan tubuhku untuk menatap seseorang yang
tengah berdiri dibelakangku.
“Naomi
Natasya..” dia menyebut namaku sambil tersenyum dengan hangat.
Aku
menatapnya. Sepertinya aku mengenali pria berbadan tegap dengan alis tebal, membuat
dirinya semakin tampan. Poni rambut untuk menutupi dahinya, tertiup oleh angin
yang masuk dari jendela kafe, memperjelas tatapan kedua matanya.
Kana
berdiri dan mendekati pria tersebut, “Maaf ya Sya, gue ngerahasiain ini dari
lo. Ini surprise buat orang yang
benar-benar mencintai dengan tulus.” Ucapnya terkekeh.
“Maaf
Sya, kalo waktu itu aku sms kaya gitu sama kamu. Aku mau tau apa kamu
bener-bener takut kehilangan aku. Dan ternyata…” Pria tersebut menggantungkan
kalimatnya, memancarkan lesung pipit lalu membuat kedua pipinya memerah.
“Aku
sayang banget sama kamu Sya…” Pria tersebut merentangkan tangannya ingin
memelukku.
Dengan
perasaan yang tak bisa kujelaskan satu persatu, aku berdiri dan langsung memeluk
tubuhnya yang hangat. Membiarkanku menenggelamkan semua rasa kecewa, merubah
cara pandangku tentangnya. Aku melupakan semuanya bahwa cara perkenalan yang
baik adalah berjabat tangan lebih dulu, tetapi aku merasakan pertemuan ini
adalah pertemuan yang berulang-ulang dan aku berhak memeluknya.
“Aku
juga sayang sama kamu Ghie, jangan pernah tinggalin aku sendirian lagi.”
cerpen-kamu
Label: cerpen, tentangCINTA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar