Pecundang Punya Mimpi
Rabu, 04 Juni 2014
Diposting oleh
Risty putri indriani
Kenapa orang-orang
terus menatap langit sambil berjanji kalau dirinya akan sukses? Padahal langit
nggak bisa bicara apapun bahkan nggak punya pintu yang terbuka lebar menuju
kesuksesan. Di langit sana, yang ada hanya awan, burung dan sesekali di lewati
pesawat. Itu doang! Kecuali kalau lo mau sukses jadi pilot, gue maklumi lo suka
lihat ke atas sambil bilang “Suatu saat gue yang bakal nyetir pesawat!”
“Kalau
gue jatuh dari gedung gara-gara mau ke langit, Tuhan masih kasih gue nyawa
nggak ya..” gumam Arfan polos.
Yang
disebelahnya melirik aneh, heran, gila.. Gumam yang udah jelas jawabannya
bakalan tewas.
“Lo
bukan kucing yang punya sembilan nyawa, Fan.”
Selalu.
Jawaban yang berulang-ulang dari Vano ketika Arfan membicarakan hal yang sama. Tapi
Arfan nggak pernah bosan mengulang ucapan itu, apalagi mendengar jawaban
sahabatnya yang sederhana dan klise namun dapat membuat Arfan sadar jika hidup bukan
perihal seberapa banyak nyawa untuk mendapatkan kesempatan, tapi perihal
bagaimana menghasilkan sesuatu dari kesempatan nyawa yang diberikan. Meskipun harus
melewati jatuh, tertatih dan putus asa.
Sebenarnya
dia paham jika dia bukan kucing yang punya sembilan nyawa. Punya satu nyawa saja
dia harus susah payah ngejaga. Namun, hidup dari seekor kucing tentu tidak salah,
karena Arfan ingin seperti kucing yang selalu bertahan hidup. Kucing punya sembilan
nyawa saja masih berusaha mempertahankan diri, apalagi dirinya yang hanya punya
satu nyawa! Harus tetap hidup bahkan menjadi sukses. Tapi,, yah,, namanya juga
manusia,, terkadang ingin merasakan bagaimana menjadi seekor hewan.
“Kalau
gue kaya kucing, mau gue lompat delapan kali, pasti gue masih hidup sekali
lagi.”
“Fan,,
gue ingetin,, mau lo punya nyawa sekali lagi, lo harus nikmatin delapan kali kesakitan
yang sengaja lo buat. Lo jatuh dari gedung bukan ngerasain seneng karena masih
punya nyawa, seharusnya lo pikir gimana caranya lo nyari bahagia tapi bisa
pertahanin nyawa.”
Arfan
hanya menyeringai. Dia suka kesakitan, itu membuatnya menikmati kebangkitan.
Dia juga suka pertentangan, namun bukan berarti menentang segala sesuatu yang
dianggap orang baik. Arfan punya banyak cara untuk menyusun sebuah puzzle yang berbahaya, karena diam-diam,
Arfan mempunyai cita-cita yang ‘berbahaya’.
Kedua
pemuda itu kembali menatap ke atas sambil berbaring dan menumpu kepala dengan
kedua tangannya. Entah apa yang mereka pikirkan, yang jelas semua ini tentang
kehidupan. Kehidupan yang baru akan dimulai, karena mereka harus mencapai
kesuksesan di dunia ini. Dunia yang terkadang penuh dengan topeng kemunafikan
dan juga label pecundang.
“No, di langit yang lagi kita tatap. Gue
pengen dia simpen harapan gue dan bilang ke nyokap gue, kalau gue nggak mau
jadi pilot. Sumpah, bukannya gue mau jadi durhaka karena nggak suka sama
keinginan nyokap. Tapi,, nyokap gue tuh lupa,, kalau anaknya kurang tinggi.”
“Fan,,
gue juga mau bilang, langit di sini sumpek. Nggak Ada AC apalagi kipas. Sumpah,,
langit-langit kamar lo nggak asik banget, isinya Romi Rafael, Dedi Corbuzier
sama itu tuh..” Vano menunjuk dengan dagunya. “Demian.”
Vano
menghela nafas sejenak, ada rasa kekhawatiran yang menyergap dalam pikirannya.
“Lo nggak homo kan, Fan?”
***
Orang-orang
menyebut cita-cita ini dengan komentar “Nggak banget!” “Cita-cita lo nggak
berkelas!” “Masa depan lo suram dah.” apalagi sang ibunda tercinta, “Ndo,,
Ndo,, dikasih cita-cita setinggi langit kok minta setinggi pohon toge.”
Sekali
lagi, ini bukan tentang jabatan, bukan juga tentang bermandikan uang ratusan
ribu rupiah. Ini tentang cita-cita yang patut diperjuangkan. Bukannya waktu kecil,
kita harus punya cita-cita? Karena cita-cita bukan hanya sekedar duduk manis di
kantor sampai tua.
“Ma,, Arfan tetap mau jadi pesulap.”
Mama
Arfan tetap pura-pura nggak mendengar, dan seakan kosakata itu hanya dimengerti
para ahli bahasa sansekerta. Pesulap? Apaan sih!
“Mama
lebih suka kamu pakai baju berjas, pergi kerja ke kantor atau lebih bagus kamu
jadi pilot. Mama lebih suka itu. Kalau tau kamu mau jadi,, apatuh yang barusan
kamu bilang?”
“Pesulap,
Mah..”
“Iya,,
itu tukang lap,, lebih baik nggak usah kuliah, kamu kerja jadi badut aja sana.”
jawab mama Arfan, masih konsentrasi nonton sinetron setelah sholat isya.
Badut?
Ah,, badut itu beda sama pesulap. Yaa, walaupun ujung-ujungnya menghibur dengan
sulap juga. Tapi,, sama sekali berbeda!
Sebenarnya,
Arfan bisa saja diam-diam pergi berkelana mencari jati diri untuk menjadi
pesulap. Namun, Arfan sadar, bahwa restu ibu merupakan jalan yang baik menuju
kesuksesan. Maka dari itu, Arfan bertekad dari sekarang, dia ingin membuktikan
semuanya bahwa menjadi pesulap merupakan cita-cita yang patut diperjuangkan dan
bukan lagi cita-cita yang berbahaya.
Keesokannya,
Arfan telah membeli alat-alat sulap bersama Vano, setelah dihubunginya Vano dan
memaksa Vano untuk mengantarnya. Sebenarnya, Vano juga merasa aneh dengan Arfan
atas cita-citanya itu, meskipun setelah dia tahu jika sebenarnya Arfan bukan
homo melainkan terobsesi menjadi pesulap seperti poster-poster yang di lekat di
langit kamar Arfan.
“Tisu,
uang kertas, dompet.”
Kedua
pemuda ini menatap barang yang ada dihadapannya, belum disentuh sama sekali.
Pasalnya, dia masih belum mengerti bagaimana menggunakannya, sampai pada akhirnya
Arfan mencari informasi cara menggunakannya di google.
Kedua
pemuda itu terus berlatih sampai bisa, bahkan jempol tangan Arfan sempat
terkena api karena ceroboh menggunakan dompet sulap. Tapi Arfan tidak menyerah,
dia harus menggapai impian menjadi pesulap itu. Hanya Vano lah yang belajar
sekedarnya dan bahkan sudah tidak berniat memainkan alat-alat sulap itu, pemuda
yang bekerja di sebuah kantor metropolitan ini memilih sukses menjadi eksekutif
muda.
Akhirnya
Arfan berjuang sendirian. Murni sendirian. Hanya semangat yang setia mengiringi
langkah kaki Arfan sampai berakhir di sebuah tempat pelatihan hipnotis. Awalnya
Arfan ragu, bukan karena ragu karena cita-citanya itu, namun ragu karena biaya
pelatihan hipnotis menguras uang. Dengan keadaan begini, tidak mungkin dia
meminta uang pada orang tuanya yang jelas menentang impian, akhirnya dia
bekerja sebagai pesulap mengisi acara ulang tahun anak-anak sampai acara di
kampusnya. Dan untuk sementara waktu sampai uangnya terkumpul, dia sering pergi
ke Jatinegara untuk menyerap ilmu pesulap dari pedagang kaki lima di sepanjang
trotoar jatinegara. Dan dari sana pula, dia menemukan kehidupan dunia pesulap
yang bukan sekedar dunia kekonyolan, melainkan dunia pesulap yang masuk ke
dalam dunia masa depan.
Dalam kurun waktu yang tak lama, setelah dia
mengumpulkan uang dan belajar di pelatihan hipnotis, Arfan dapat mengantongi ilmu
hipnotisnya. Jelas, Arfan bangga.
Sebelum
dia membayar mulut-mulut yang mengejeknya, apalagi melihat ibunya yang nyaris
mengeluarkan Arfan dari anggota keluarga, Arfan berdiri di depan cermin dengan
setelan jas hitam yang dipakainya.
“Pesulap
nggak melulu pake baju badut. Gue ganteng, berarti gue harus pake baju keren.”
ucapnya membanggakan diri dari pantulan cermin.
Sebelum
dia menampilkan diri di depan orang-orang yang mengejeknya, dia ingin
mempraktekan ilmunya dengan cara menghipnotis dirinya sendiri. Di depan cermin,
Arfan tersenyum seraya menatap matanya. Tidak berapa lama dia memejamkan mata
dan sugesti dirinya sendiri. Gue hipnotis
supaya mata gue ke tutup.
Dan sugesti itu sukses membuat matanya
tertutup. Arfan kelabakan, dia malah terkesiap dengan sugestinya sendiri!
“MAAAH!”
Arfan berteriak dari dalam kamarnya, sontak membuat mamanya yang tengah asik
menonton sinetron langsung berlari yang diekori adiknya itu.
“Tolong,
Mah!! Nggak bisa buka mata!!!”
Mama
Arfan yang juga terkesiap, langsung menyiram wajah Arfan dengan air. Mamanya
Arfan nggak tahu, kalau anaknya lagi mensugesti diri sendiri, yang dia tahu
Arfan lagi kelilipan sampai nggak bisa buka mata.
Arfan
langsung teringat dengan gurunya yang menyuruh tenang ketika mengembalikan ke
kondisi seperti semula. Dengan dipapah mamanya, Arfan duduk di sofa ruang tamu
dan mulai sugesti diri sendiri. Mamanya, adiknya bahkan papanya yang baru saja
keluar dari kamar mandi terus mengamati anak sulungnya itu.
“Kamu
ngapain sih?” mamanya yang nampak terlihat lega itu langsung mengintrogasi
Arfan setelah membuka mata.
Arfan
cengengesan, dengan sigap dia langsung merubah air mukanya menjadi seorang
magician. “Panggi Arfan Rafael atau Arfan Corbuzier. Karena sugesti saya
berhasil!!” ucapnya dengan lantang.
Keluarga
kecil itu ternganga. Aneh, nggak jelas dan mungkin Arfan mulai gila.
“Mah,
Pah, Dek.. Sebelum Arfan berjuang menjadi magician di dunia luar, tolong jadi
penonton pertama yang lihat aksi Arfan.”
Sebenarnya
ketiga orang itu malas banget menyaksikan aksi yang –nggak banget. Namun, yah,,
secara Arfan belum dihapus dari kartu keluarga, mereka ingin memberikan
kebahagian pada Arfan sebelum benar-benar di depak dari keluarga harmonis ini.
Mula-mula
Arfan bermain tisu yang dapat berubah menjadi bunga. Mama Arfan yang masih
terbengong-bengong tidak percaya langsung meluncurkan pertanyaan “Kok bisa
sih?”
Adiknya
juga tak kalah heran, bahkan dia berkali-kali minta diajarkan. Papanya pun yang
masih diambang percaya tidak percaya langsung mengambil alat tersebut dan
mengamatinya dengan detil. Arfan sukses membuat keluarganya terkagum-kagum. Tentu
saja Arfan puas karena aksinya berjalan lancar, dengan begini,, mungkin mamanya
akan mengizinkan dirinya menjadi seorang magician.
“Mah,
diizininkan?”
“Kasih
tunjuk mama dulu, apa kamu bisa menghasilkan uang dari cita-citamu itu!”
***
Arfan
berdiri di antara ratusan peserta Ospek yang tengah menunggu aksinya. Ini bukan
di depan cermin atau menatap langit bahkan di atas gedung. Ini benar-benar
kenyataan yang telah memberikan dia kesempatan untuk mempertunjukan
kemampuannya. Bukan hanya ratusan peserta Ospek, namun, dia berdiri diantara
orang-orang yang mengejeknya. Semua harus berakhir, bahwa cita-cita yang
berbahaya ini dapat menunjukan jalan menuju kesuksesan.
Kali
ini dia tidak mempertunjukan aksi sulap, melainkan aksi hipnotis. Dia menunjuk
lima orang untuk ikut berpartisipasi dalam hipnotisnya. Lima orang yang telah
bersedia akhirnya dihipnotis, mereka menuruti sugesti Arfan, seperti disuruh
menjadi foto model sampai melupakan namanya sendiri.
Arfan
sangat piawai memainkan hipnotisnya. Semua orang menikmati aksi Arfan, mereka
tertawa tak henti-hentinya dan bahkan terus berteriak “LAGI!”. Namun, karena
waktu tak bersepakat dengan mereka, Arfan menghentikan pertunjukannya.
Hari
ini dia sangat senang melihat air muka para peserta maupun teman-temannya
terkagum dengan penampilannya. Tidak sia-sia dia berusaha menjadi seorang
magician yang dapat diterima masyarakat. Setidaknya dia telah membayar
mulut-mulut yang pernah meremehkannya dengan pertunjukan ini, di depan mereka
bahkan di depan orang-orang baru yang belum mengetahui perjalanan cita-citanya.
Sebelum
acara berganti, Arfan bersantai seru bersama peserta Ospek. Mereka antusias
bertanya pada Arfan.
“Kak
Arfan, kenapa mau jadi magician?” salah satu cowok berkacamata yang masuk dalam
peserta MOS bertanya.
Arfan
tersenyum, pertanyaan yang bagus. “Karena dunia magician itu seperti melihat
suatu keajaiban yang nggak bisa ditemui di dunia nyata. Segala hal yang nggak
masuk logika bisa terjadi di dunia magician.”
Semuanya
ber-oh berbarengan.
“Kak
Arfan, emang nggak ada pilihan lain selain jadi magician?”
Arfan
tertawa lebar, lagi-lagi pertanyaan bagus. “Hidup itu pilihan. Memilih menjadi
orang biasa atau luar biasa. Dan saya memilih cita-cita yang banyak di tentang
orang biasa. Kalian tahu? Cita-cita yang nggak banyak diminati sebenarnya nggak
buruk. Yang gagal itu adalah mereka yang tidak pernah mencoba menarik diri
keluar disaat terjebak ke dalam lubang yang dalam. Dan parahnya, dia mengiyakan
teriakan orang-orang yang ikut terjebak di dalam lubang kalau mereka nggak
mungkin keluar.” Arfan menghela nafasnya sejenak.
“Mereka
nggak tahu, kalau peran yang mereka mainkan ada sutradara yang mengatur, yaitu
Tuhan. Sutradara akan mengangkat mereka sebagai peran utama jika peranannya
sangat bagus dan pintar bagaimana memainkan cerita. Begitu juga dengan hidup.”
Mereka ber-oh lagi.
Untuk
terakhir kalinya, seseorang dari sudut ruangan yang berkemeja cokelat, bukan
peserta Ospek ataupun orang-orang yang mengejeknya, bertanya. “Kenapa mau
bermimpi jadi seorang magician?”
Arfan
menghela nafas sejenak, dia menatap seorang pemuda yang baru saja bertanya.
“Karena mimpi itu bukan bunga tidur, mimpi itu perjuangan yang bisa buat gue
gampang bangun di pagi hari.”
Kedua
pemuda itu tersenyum, mereka yang menyaksikan juga ikut tersenyum, termasuk
orang-orang yang pernah mengejek Arfan.
“Sukses
buat kita, Vano. Orang yang punya cita-cita patut dihargai.”
Mulai
saat ini, Arfan tidak ingin menjadi kucing yang punya sembilan nyawa. Dia ingin
menjadi seorang magician meskipun hanya punya satu nyawa. Karena dengan begitu,
dia akan lebih menghargai kehidupan agar tak ingin menjatuhkan diri dari atas
gedung. Memiliki apa yang telah diperjuangkan, mempertahankan apa yang telah
dimiliki.
Cita-cita
yang menggantung, bukan selamanya tergantung tepat di depan mata. Namun, selalu
kita kejar dan kita raih bagaimanapun caranya. Karena mimpi, bukan hanya suatu
petunjuk, namun diperlihatkan dari suatu pertunjukan, pertunjukan seorang
magician misalnya.
END
END
Label: cerpen
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Kisah yang sangat inspiratif. Orang tua selalu menganggap jika orang yang berjas dan berdasi itu orang yang sukses, padahal belum tentu...
Posting Komentar