ABRAKADABRA CINTA
Sudut-sudut kedai kopi dikawasan kemang sudah tampakterlihat
sepi, satu persatu orang yang berkerumun telah meninggalkan cangkiryang
tersisa hanya ampas kopi dan meletakkanlembaran uang tip disamping
cangkirnya. satu dua orang bahkan sekelompok oranggonta-ganti
menghampiri gue, walau sekedar bertanya “Kok bisa?” atau
“gimanacaranya?” dan terakhir “boleh minta nomor handphone?”
Bagi
gue, pertanyaan-pertanyaan itu sudah biasa ditelingague. semenjak gue
mulai serius dengan hobby sulap dan hipnotis, gue merasahidup gue selalu
berpesta. Bahagia dan membahagiakan orang. Gue gak peduliseberapa
banyak orang yang menduga seorang pesulap atau hipnotis semuanya bohong. Selama gue masih melihat orangtertawa atau minimal tersenyum, selama itulah gue merasa jadi orang palingberuntung sedunia.
Tapi
keberuntungan gue bertolak belakang pada cinta. Lagi-lagicinta. Nama
itu? Selalu membuat gue merasa menjadi pecundang. Hampir semuaorang
selalu konsultasi tentang cinta mereka yang tak kunjung lenyap
ataumenunggu cupid memanah sang pujaannya, layaknya seorang yang
sempurnaterhadap cinta, gue selalu memberikan solusi pada mereka dan
berhasil. Tapi kenapa guenggak? AH…
“Udah rapihkan
semuanya. Yuk.. ntar keburu malem.” Donamenggamit tangan gue,
moment-moment ini selalu membuat jantung gue berdegupkencang.
Cewek
yang gak pernah bisa buat gue bersikap wajar, selalukeringetan bahkan
panas dingin setiap gue natap wajahnya. Bola mata yang bulat
terdapatmanik mata kecoklatan, membuat gue susah mengatur nafas yang
semakin lamasemakin memburu keindahannya, kulit wajah yang putih
menambah aksen keanggunandan rambutnya yang panjang dan hitam membuat
Dona semakin cantik. DONA—seorang cewekyang sudah gue kenal dua tahun
lamanya, dia tak mengetahuinya diam-diam membuatreward ke gue sebagai cowok paling pengecut sedunia.
“Loh kok diem? Ayok Ri..”
“Oh iya.. ngg, ayok..”
Dona
selalu menemani gue ketika gue show untuk sulap danhipnotis. Dan
kehadiran Dona seakan mempunyai magnet yang selalu memberikan
guesemangat. Gue merasa hidup gue seperti ketergantungan dan seakan
mempunyaicandu yang harus terus-menerus berada didekat Dona jika gue
butuh asupansemangat.
“Tadi permainan lo bagus banget.
Selalu ada yang beda kalolo tampil.” Ucap Dona seraya melingkarkan
tangannya di pinggang gue setiapberboncengan di atas motor.
Lagi
dan Lagi, perasaan gue gak karuan setiap diamengeratkan pelukannya. Gue
semakin tak konsentrasi tapi gue berusaha bersikapwajar. Wangi
parfumnya selalu membuatgue mabuk dan membuat gue selalu menghayal
bagaimana rasanya menjadi pacarDona.
“Kan ada lo..” Gue terkekeh disusul dengan bunyi startermotor gue.
Dona
mencubit perut gue dengan lembut, dan itu yang selalugue suka dari
Dona. Selalu banyak cara mengambil hati gue yang semakin lamasemakin
terkikis dengan ukiran-ukiran wajahnya. Tetapi entah mengapa setiap
guemerayunya, Dona hanya bisa tersenyum atau sesekali tertawa tak pernah
merespondengan hal-hal yang membuat gue mempunyai keberanian untuk
mengungkapkan semuaisi hati gue.
“Don..”
“mmmm”
“Masih jam setengah Sembilan nih, belum malem banget. Makan yuk.”
Dona mengerutkan alisnya dan menatap wajah gue dari pantulankaca spion “Loh, tadi kan udah makan?”
“Bagi gue makan itu ya makan nasi, bukan makan kue. Gak kenyanggue.”
“mmmmm, kebiasaan deh. Yaudah..”
Gue
sengaja melakukan hal itu. Selama masih ada waktu buatberdua dengan
Dona, gue selalu memanfaatkan kesempatan itu. Kesempatan yang gakpernah
bosan gue ulangi setiap waktunya.
***
Semilir
angin malam berhembus di taman kafe yangdipenuhi dengan hiasan lampu
bergantian menembus kulit Dona yang terbalut dengan dress berwarnabiru
laut. Sepertinya Dona kedinginan, terlihat Dia menghusap-usap
lengannyaberkali-kali. Gue langsung memberikan jaket gue ke Dona, hal
itu wajardilakukan oleh setiap cowok. Tapi alasan gue seperti ini cuma
satu, semogawangi Dona melekat di jaket gue. agar bisa gue hirup setiap
gue beranjak tidur.
“Thanks ya.. tau aja gue kedinginan.”
“Apa
sih yang nggak gue tau dari lo.” Gue tersenyumkearahnya, entah berapa
lama gue mengaduk-aduk es coklat yang ada didepan guesambil memaksa
untuk menatap Dona yang sedang melahap sepiring nasi goreng seafoodyang
telah terhidang.
“Don..gue mau tanya deh sama lo.”
“Yaelah tanya aja kali.”
Gue menghembuskan nafas perlahan, berharap kegugupan gueberangsur-angsur pulih.
“Don, kalo seandainya.. seandainya nih ya.. ada orang yangsuka sama lo. lo bersikap gimana?”
Dona
menghentikan kegiatan makannya, Dia menatap gue lekat. Guemerasa jiwa
gue semakin melayang, meninggalkan semua rasa penasaran dan rasa
pengecut gue padaDona.
“Itu gak mungkin.”
“Maksud lo apanyayang gak mungkin?” gue menatap tatapannya yang semakin lama seperti merasakankeanehan dalam dirinya.
“Ya soalnya gue lagi suka sama seseorang.”
“Siapa?... gue?.....”
“Ng—“
Gue
langsung membungkam mulutnya, menurut gue ini bukan suasana yangpas
untuk bertanya lebih jauh siapa orang yang disukainya lalu
mendengarkanjawabannya. Persetan dengan segala sesuatu yang membuat gue
semakin pecundang. Sekaranggue nekat untuk melakukan semuanya demi Dona.
Demi perasaan gue yang harusdiberikan petunjuknya.
Gue
langsung menuju kepanggung kecil yang telah disiapkanoleh pemilik kafe
untuk memberikan fasilitas kepada para pengunjung agar dapatmemberikan
hiburan kepada pengunjung lainnya.
“Mohon
perhatian untuk semuanya.” Gue mengeraskan suarasambil mengambil sebuah
tisu dan korek api yang gue selipkan disaku celana.
Semua
pengunjung menghentikan kegiatan makan dan cengkramannya, mereka
menatap pada satu tujuan; gue. begitu juga dengan Dona,sambil memangku
tangan kanannya dia menatap gue sambil sesekalimenggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Saya ingin menghimbur kalian semua dengan sulap.”
Semua pengunjung dalam kafe bertepuk tangan bersamaan denganrasa berdegup kencang gue yang semakin lama semakin tak karuan.
“Mohon
bantuannya buat wanita yang diujung sana.bisa majukesini.” Gue menunjuk
Dona yang masih celingak-celinguk tanda tak mengerti.
“Gue?”
Gue mengangguk tanda mengiyakan bahasa mulutnya yangmenunjuk dirinya untuk menemani gue bermain sulap.
Dengan
langkah yang perlahan, Dona menghampiri gue besertatatapan para
pengunjung yang bolak-balik menatap gue dan Donabergantian.
“Lo ada-ada aja si.” Dona membisikan ke telinga gue setelahdia bersisian dengan gue.
“Udah tenang aja, loikutin gue aja. Itung-itung amal.” Gue balas membisik ke telinga Dona yangmendadak menjadi aneh.
“Oke
semuanya, mungkin sulap gue terlalu simpel. Tapi gueberharap ini dapat
menghibur kalian.” Gue bersiap-siap melakukan moment yangbuat gue
mendadak semakin berkeringat.
“Kalian tau ini tisu, mudah terbakar.” Gue menggerak-gerakantisu kesana-kemari.
Semua orang memperhatikannya, termasuk Dona yang telahterbiasa melihat sulap gue.
“Kalo tisu ini dibakar, kalian tau ini akanberubah bentuk.”
“GAK MUNGKIIN.” Salah satu pengunjung yang memperhatikanberteriak.
“Oke akan saya buktikan.”
Gue
langsung menyalakan korek api dan langsung membakartisu. Dengan secepat
kilat tisu tersebut berubah menjadi sebuah bunga melatiyang cantik.
Terdengar suara riuh para penonton dan memberikan tepuktangan kearah
gue. Dan dengan mental yang harus gue perkuat, ini saatnya!
Gue berhadapan dengan Dona yang masih menepuk tangannyauntuk gue.
“Bunga
ini, saya persembahkan untuk seseorang yang selamaini sangat saya
sayang, sangat saya cintai.” Gue menggantungkan kalimat,mengumpulkan
semua keberanian gue untuk meneruskan semuanya.
“Dona..”
Dona meruncingkan kedua alisnya menatap wajah gue, semburatwajah bingungnya nampak tercetak.
“Don..
gue suka sama lo.. lo mau gak jadi cewek gue.” seakanwaktu berhenti
berdetak, tidak mengembalikan rasa ketenangan yang semakin lamasemakin
tak dirasakan gue.
Gue berharap orang yang disukai Dona
adalah gue, bukansiapapun. Gue yakin, Dona mencintai gue sama seperti
gue mencintainya. Gueyakin, tidak ada cowok lain selain gue yang selama
ini menemani dia dalamkesedihannya, bahkan kesendiriannya. Gue yakin,
cowok yang disukai Dona adalahgue.
“Ri….” Ucap Dona dengan gusar.
Semua
orang menatap gue dan Dona, ada yang berteriak “TERIMA”dan ada sesekali
orang yang berteriak histeris. Pasti para cewek denganwajah mupeng ingin merasakanbagaimana rasanya menjadi Dona yang ditembak dengan suasana romantis.
“Jawab Don..”
Dona
menghembuskan nafas dengan perlahan lalu menerima sekuntum bunga melati
pemberiangue. waktu terasa lambat berjalan, gue ingin mengetahui isi
hati Dona secepatkilat!
“Ri—“ Dona menggantungkan ucapannya, memberikan jeda yang membuat gue menerka-nerka semua perasaannya.
“Ri,, kita sama-sama cewek. Gue tau lo itu tomboy.. Lo SADAR DONG TARI!!! DEKET bukan berarti kita PACARAN! ITU GAK MUNGKIN!”
Label: cerpen, lalaala, tentangCINTA